Eks Staf Admin PPDS Undip Divonis 9 Bulan Bui di Kasus Bullying dr Aulia

Eks Staf Admin PPDS Undip Divonis 9 Bulan Bui di Kasus Bullying dr Aulia

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 01 Okt 2025 15:34 WIB
Terdakwa Sri Maryani di pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025).
Terdakwa Sri Maryani di pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang menjatuhkan putusan sembilan bulan penjara terhadap terdakwa Sri Maryani dalam perkara pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Univeraitas Diponegoro (Undip). Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni penjara 1,5 tahun.

Putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim, Djohan Arifin, di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Putusan untuk Eks Staf Administrasi itu dibacakan usai putusan terdakwa Zara.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama sembilan bulan," kata Djohan di PN Semarang, Rabu (1/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pemerasan secara berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

ADVERTISEMENT

Majelis menilai pungutan yang dilakukan terdakwa terhadap residen PPDS anestesi tidak memiliki dasar hukum. Biaya ujian dan pendidikan sudah diatur melalui keputusan rektor, dan pungutan di luar ketentuan itu merupakan perbuatan melawan hukum.

"Namun apabila tidak dibayarkan ke kampus atau fakultas secara resmi, tidak diatur oleh kampus, maka bisa dipastikan itu adalah pungutan liar," jelasnya.

Hakim juga menyoroti adanya relasi kuasa antara pengelola program studi dengan mahasiswa residen. Kondisi itu dinilai membuat mahasiswa berada pada posisi inferior dan tidak mampu menolak permintaan pembayaran.

Terdakwa Sri Maryani di pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025).Terdakwa Sri Maryani di pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Terdakwa telah menggunakan relasi kuasa di mana terdakwa sebagai pihak yang superior, memaksa mahasiswa PPDS residen sebagai pihak inferior, untuk menyerahkan uang ujian BOP yang dikontrol oleh terdakwa dengan saksi dr. Taufik Eko Nugroho, sehingga terdakwa mendapat keuntungan," urainya.

Dalam perkara ini, majelis hakim menyatakan Sri Maryani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai pasal yang didakwakan. Total, terdapat sekitar Rp 2,4 miliar yang diterima dari biaya BOP mahasiswa PPDS Anestesi Undip.

"Menimbang bahwa pembayaran uang BOP yang diminta dan diarahkan oleh Pak dr. Taufik akibat adanya relasi kuasa, mengakibatkan para residen atau mahasiswa sejak 2018-2023 secara terpaksa melakukan penyerahan dana BOP dalam berbagai tahap, melalui bendahara angkatan atau bendahara utama residen. Penerimaan terdakwa mencapai Rp 2.483.424.000," tuturnya.

Meski demikian, hakim juga mempertimbangkan hal yang meringankan, seperti terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan.

"Keadaan yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang ramah dan terjangkau," ungkapnya.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut Sri Maryani dengan pidana 1,5 tahun penjara. Sidang kemudian ditutup setelah pengacara Sri Maryani dan JPU menyatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari terhadap putusan Majelis Hakim.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus dugaan pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) telah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika menyampaikan, terdapat praktik pungutan liar berkedok iuran Biaya Operasional Pendidikan (BOP), nominalnya sekitar Rp 80 juta per mahasiswa.

"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," ujar Sandhy, Senin (26/5).

Jaksa menjelaskan, iuran tersebut diklaim untuk membiayai berbagai kebutuhan akademik, akan tetapi dipungut secara nonresmi dan dikelola di luar sistem keuangan resmi kampus.

Dana yang dihimpun itu, menurut Shandy, tidak disimpan dalam rekening universitas, tapi masuk ke rekening pribadi Sri Maryani. Saat dana mulai menipis, Maryani disebut melapor ke Taufik yang lalu memerintahkan pengumpulan tambahan.

Sri Maryani lantas dituntut 1,5 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan yang menewaskan dr Aulia Risma. Ia disebut terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman berdasarkan instruksi.




(apu/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads