Tok! Zara Senior PPDS Undip Divonis 9 Bulan Bui di Kasus Bullying dr Aulia

Tok! Zara Senior PPDS Undip Divonis 9 Bulan Bui di Kasus Bullying dr Aulia

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 01 Okt 2025 13:30 WIB
Sidang putusan terdakwa Zara Yupita Azra di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025).
Sidang putusan terdakwa Zara Yupita Azra di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (1/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang menjatuhkan vonis kepada terdakwa Zara Yupita Azra hukuman 9 bulan penjara. Vonis untuk senior Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip di kasus bullying dr Aulia itu lebih rendah dari tuntutan jaksa.

Putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim, Djohan Arifin, di PN Semarang, Kota Semarang, hari ini. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut Zara dengan pidana 1,5 tahun penjara. Zara tidak menunjukkan reaksi apapun saat mendengar putusan itu.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama sembilan bulan," kata Djohan di PN Semarang, Rabu (1/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pemerasan secara berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

"Menyatakan terdakwa Zara secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," ujar hakim.

ADVERTISEMENT

Hakim menilai unsur 'memaksa dengan ancaman' terpenuhi melalui praktik iuran dan kewajiban penyediaan makan prolong bagi senior yang dialami para residen baru.

"Terdakwa telah memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain," ucap hakim.

Hakim juga menguraikan bahwa kewajiban iuran yang dipungut mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan, termasuk penyediaan makan jaga, membayar joki tugas, hingga logistik lainnya, itu tidak memiliki dasar hukum.

Hakim menyebut tidak ada peraturan perundang-undangan, surat keputusan, maupun surat edaran resmi dari lembaga yang berwenang yang mewajibkan adanya iuran tersebut, sehingga iuran itu disebut pungutan liar (pungli).

"Apabila tidak dibayarkan ke kampus atau fakultas secara resmi dan tidak diatur oleh kampus maka bisa dipastikan itu adalah pungutan liar," kata hakim.

Majelis hakim menilai tindakan itu dilakukan dalam relasi kuasa antara senior dan junior di lingkungan pendidikan dokter, sehingga menimbulkan tekanan psikis maupun ekonomi bagi residen baru.

"Terdakwa dan rekan seniornya mempunyai kewenangan untuk mengevaluasi tidak memberikan ilmu atau mengucilkan mahasiswa PPDS atau residen yang lebih junior," ujar hakim.

"Sehingga ada relasi kuasa antara terdakwa dan rekan seniornya, terhadap Aulia Risma Lestari dan rekan juniornya atau dengan kata lain posisi superior dan posisi inferior, yang dapat membuat mahasiswa PPDS junior tidak berani menolak perintah terdakwa," sambungnya.

Hakim juga mempertimbangkan hal yang meringankan, seperti terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan.

"Keadaan yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang ramah dan terjangkau," ucap hakim.

Sidang kemudian ditutup setelah pengacara Zara dan JPU menyatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari terhadap putusan Majelis Hakim.




(dil/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads