Eks Staf Administrasi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Sri Maryani, dituntut 1,5 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan yang menewaskan dr Aulia Risma. Jaksa menilai Sri terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman berdasarkan instruksi.
Tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sulisyadi, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat.
"Menuntut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan menangani perkara ini untuk menyatakan terdakwa Sri Maryani secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain," kata Sulisyadi di PN Semarang, Rabu (10/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Sri Maryani selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani," tutur jaksa saat membacakan tuntutan.
Sulis menyebut perbuatan Sri Maryani telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 2 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman.
"Terdakwa Sri Maryani dan Taufik Eko Nugroho telah dapat dibuktikan bersalah menurut hukum sebagaimana unsur atau rumusan tindak pidana melakukan beberapa perbuatan kejahatan yang dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu, yang maksudnya menguntungkan diri sendiri atau orang lain," tuturnya.
Jaksa menilai Sri Maryani terbukti melakukan pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri maupun orang lain secara melawan hukum. Jaksa menyebut aksi tersebut dilakukan Sri dengan memaksa orang lain menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membuat utang atau menghapuskan piutang.
"Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut," urainya.
Jaksa menyebut tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana Terdakwa Sri Maryani. Namun, ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam menyusun tuntutan.
Perbuatan Sri Maryani bersama-sama dengan Taufik Eko Nugroho selaku Kaprodi PPDS Anestesi Undip yang dilakukan secara terstruktur dan masif menjadi salah satu hal memberatkan.
"Terdakwa selaku staf pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan," tuturnya.
"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan.
Sementara untuk hal-hal yang meringankan, Sri Maryani disebut berlaku sopan dan mengakui perbuatannya. Sri Maryani juga telah meminta maaf.
"Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut semata-mata karena menjalankan instruksi," ungkapnya.
Jaksa lantas menuntut Sri Maryani pidana penjara 1,5 tahun. Selain itu, ia meminta majelis hakim menyatakan barang bukti tetap disita untuk kepentingan perkara.
Sri Maryani tak memberikan ekspresi apapun usai mendengar ancaman pidana yang dibacakan jaksa. Sementara pengunjung sidang tampak lega dengan tuntutan jaksa. Beberapa dari mereka menyebut "Ya Allah," sambil memegang kepala.
Sri Maryani dan penasihat hukumnya kemudian menyatakan akan mengajukan pembelaan (pleidoi).
"Mengajukan pembelaan," kata Sri Maryani dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Djohan Arifin.
Peran Sri Maryani dalam Dakwaan
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus dugaan pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) telah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika menyampaikan, terdapat praktik pungutan liar berkedok iuran Biaya Operasional Pendidikan (BOP), nominalnya sekitar Rp 80 juta per mahasiswa.
"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," ujar Sandhy, Senin (26/5).
Jaksa menjelaskan, iuran tersebut diklaim untuk membiayai berbagai kebutuhan akademik, akan tetapi dipungut secara nonresmi dan dikelola di luar sistem keuangan resmi kampus.
Dana yang dihimpun itu, menurut Shandy, tidak disimpan dalam rekening universitas, tapi masuk ke rekening pribadi Sri Maryani. Saat dana mulai menipis, Maryani disebut melapor ke Taufik yang lalu memerintahkan pengumpulan tambahan.
Taufik juga diduga menerima langsung dana tersebut selama menjabat sebagai Kepala Program Studi (KPS), dengan total yang diterima mencapai Rp 177 juta. Maryani, menurut jaksa, mendapat honor tetap Rp 400 ribu per bulan dari dana tersebut.
"Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr Taufik yang selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp 177 juta," jelasnya.
Uang itu, kata Shandy, diberikan dalam bentuk tunai maupun dari kegiatan yang diklaim telah dikeluarkan sebagai bagian dari tugas akademik. Beberapa pengeluaran itu bahkan tak disertai kuitansi resmi dan hanya dibuat oleh Maryani sebagai formalitas administrasi belaka.
"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta," tuturnya.
(ams/apu)