Eks Kepala Program Studi (Kaprodi) Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, dituntut 3 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan yang menewaskan dr Aulia Risma. Ia disebut terbukti melakukan pemerasan tetapi tidak mengakui perbuatannya.
Tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tommy Untung, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat.
"Menuntut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan menangani perkara ini untuk menyatakan terdakwa Taufik Eko Nugroho secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain," kata Tommy di PN Semarang, Rabu (10/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tommy menyebut, perbuatan Taufik telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 2 KUHP tentang Pemerasan juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang perbuatan berlanjut.
"Terdakwa telah dapat dibuktikan secara sah di hukum sebagaimana unsur tindak pidana melakukan beberapa perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan bersekutu, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain," tuturnya.
Jaksa menilai, Taufik terbukti melakukan pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri maupun orang lain secara melawan hukum, dengan cara memaksa orang lain menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membuat utang, atau menghapuskan piutang.
"Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang yang ada hubungannya sedemikian rupa," urainya.
Jaksa menyebut tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana Terdakwa Taufik. Namun, ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam menyusun tuntutan.
Hal yang meringankan yakni Taufik dinilai sopan di persidangan. Sementara perbuatan Taufik dinilai memberatkan karena tak mengakui kesalahannya dan cenderung menyalahkan terdakwa Sri Maryani selaku Staf Administrasi.
"Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa dilakukan secara terstruktur dan masif. Terdakwa selaku dosen seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan.
"Perbuatan terdakwa menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan. Perbuatan terdakwa menciptakan suasana intimidatif dan represif sehingga menghilangkan kehendak bebas para residen," urainya.
"Terdakwa tidak mengakui perbuatannya bahkan cenderung mempersalahkan terdakwa Sri Maryani, karena pengumpulan uang di terdakwa Sri Maryani sudah berlangsung sejak terdakwa menjabat sebagai ketua program studi," lanjutnya.
Jaksa lantas menuntut Taufik pidana penjara 3 tahun. Selain itu, ia meminta majelis hakim menyatakan barang bukti tetap disita untuk kepentingan perkara.
"Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Taufik Eko Nugroho selama tiga tahun dikurangi masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani," tuturnya
Taufik yang dituntut lebih tinggi dibanding dua terdakwa lainnya itu tampak tak memberikan ekspresi apapun usai mendengar ancaman pidana yang dibacakan jaksa. Sementara pengunjung sidang tampak lega dengan tuntutan jaksa.
Taufik dan penasihat hukumnya kemudian menyatakan akan mengajukan pembelaan (pleidoi).
"Mengajukan pembelaan," kata Taufik dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Djohan Arifin.
Sebelumnya diberitakan, Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa eks Kaprodi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Taufik Eko Nugroho, memaksa mahasiswa untuk membayar iuran Rp 80 juta. Jaksa menyebut mahasiswa lintas angkatan keberatan dengan kewajiban itu akan tetapi tidak bisa menolak.
Hal itu terungkap dalam sidang perdana kasus bullying, yang menyebabkan mahasiswa PPDS Anestesi Undip dr Aulia Risma meninggal, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Adapun terdakwa dalam sidang adalah dr Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani.
"Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," kata Sandhy di PN Semarang, Senin (26/5).
Uang tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan ujian CBT, OSS, proposal tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya yang berujung dengan persiapan akademik.
"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.
"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," sambungnya.
(apu/apl)