Sidang pemeriksaan saksi dalam kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap iuran dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sudah ada sejak lama. Salah satu saksi, Jerry Ferdinan, menyebut pembiayaan sudah diinformasikan sejak awal sehingga residen seharusnya sudah siap.
Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi a de charge itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Saksi Jerry, residen PPDS Anestesi Undip tahun 2011, mengatakan sejak awal sudah mengetahui biaya yang harus disiapkan selama pendidikan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Jerry mengatakan informasi itu ia dapat bahkan sebelum menjalani wawancara masuk PPDS karena dirinya yang merupakan alumni Undip itu sudah mencari informasi kepada mahasiswa lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, sudah nanya apa yang harus disiapkan segala macam, jauh sebelum wawancara saya sudah mengetahui. (Sudah siap dulu?) Betul, karena kalau kita nggak siap kita ngapain daftar ke PPDS," kata Jerry di PN Semarang, Selasa (13/8/2025).
Jerry menjelaskan proses seleksi PPDS terdiri dari dua tahap, yakni tes teori di universitas dan wawancara di bagian. Dalam wawancara itu, calon peserta sempat diminta menghitung sendiri kebutuhan biaya selama pendidikan.
Residen Diminta Bikin Surat Pernyataan Kesanggupan
Saat sesi khusus keuangan itu, calon residen juga diminta membuat pernyataan kesanggupan untuk membayar biaya pendidikan tersebut.
"Membuat surat pernyataan dan menghitung sendiri, saat itu di angkatan kami Rp 50 juta harus disiapkan," ungkapnya.
Dia memerinci uang itu digunakan untuk ujian nasional, simposium, transportasi, akomodasi, dan kegiatan akademik lain.
"Dalam satu kali berangkat saja bisa Rp 15-20 juta. Itu sudah termasuk tiket pesawat PP, hotel, biaya simposium, dan workshop," jelasnya.
Menurut Jerry, biaya itu ditujukan sebagai persyaratan kelulusan. Jerry mengaku tidak merasa dipaksa untuk membayar biaya tersebut.
"Sebagai dokter umum yang mendaftar PPDS sudah mengetahui terlebih dahulu berapa yang harus disiapkan. Bahkan ketika saya wawancara dihitung sekitar Rp 300-400 juta," ungkapnya.
Jerry juga menceritakan adanya iuran makan prolong, yaitu menyiapkan makanan untuk seluruh residen PPDS semester 1-8. Ia menyebut skemanya seperti arisan antarangkatan.
"Semester satu yang siapkan makan untuk senior. Nanti saat naik tingkat kita gantian dapat makan dari junior," ujarnya.
Sementara saksi residen PPDS Undip angkatan 2004, Imam, mengatakan di eranya tak ada pembiayaan untuk makan prolong. Ia diminta membayar Rp 40-60 juta di luar biaya SPP, untuk seluruh pembiayaan selama menempuh pendidikan di PPDS Anestesi Undip.
"Makan prolong nggak ada, beli kopi diambil dari iuran awal Rp 40-60 juta. Jadi selama PPDS hanya itu saja, nggak ada biaya lainnya. Itu hanya sekali menjadi residen," ungkap Imam.
"Dikumpulkan di bendahara residen. Sejak kami masuk, batasnya ketika kita mau selesai. Saya bahkan selesai membayar waktu sudah mau selesai, dari ngutang saya," lanjutnya.
Saksi residen angkatan 78, Johana, mengaku diminta membayar Rp 80 juta untuk biaya ujian yang dibayarkan ke bendahara angkatan. Johana merupakan angkatan tepat satu tahun di bawah mendiang dr Aulia Risma.
"Saya nyicil, pokoknya selama semester 1, target saya semester 1 harus terkumpul. Residen lain saya tidak tahu. Kalau saya semester satu sudah dikumpulkan semua ke bendahara angkatan," ungkap Johana.
Johana menyebut uangnya itu kini sudah dikembalikan. Namun, Johana mengaku lupa kapan tepatnya pengembalian uang tersebut.
"Saya lupa kapannya, saya minta saya kelola sendiri. Jadi bendahara tanya ini uang yang dipegang gimana, apa dikembalikan, itu diskusi di angkatan. Ada yang belum lunas ada yang udah lunas, jadi dikembalikan," ujarnya.
Selain itu, ia mengaku terdapat biaya iuran angkatan. Beberapa bulan pertama, iuran itu sebesar Rp 50 juta per residen dan dibayar tiap bulannya.
"Empat bulan pertama Rp 50 juta, bulan berikutnya Rp 30-40 juta, itu semester satu saja," tuturnya.
Sementara saksi residen angkatan 79, Dimas, mengaku diminta membayar biaya pendidikan sebesar Rp 60-80 juta. Tapi ia menyebut itu bukan BOP. Di luar itu, masih ada iuran angkatan.
"Iuran bulanan angkatan itu kurang lebih Rp 30-50 juta per bulan per residen. Ada 9 residen, untuk makan prolong dan sebagainya," ungkap Dimas.
Sementara saksi residen angkatan 80, Desria, mengaku biaya pendidikan itu sudah dirinci Terdakwa Taufik selaku Kepala Program Studi Anestesi FK Undip di awal masuk pendidikan. Dia membenarkan ada iuran angkatan.
"Diberi gambaran DP 60-65 juta. Kalau tidak salah masuk Februari atau Maret, itu dibilang Rp 60-65 juta termasuk untuk pendaftaran ujian. Kalau iuran bulanan angkatan Rp 40-50 juta per bulan per residen," kata Desria.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5). Terdakwa Sri Maryani dan Taufik Eko Nugroho yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
(ams/ahr)