Saksi dalam sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang mengungkap ada iuran Rp 20 juta per bulan, termasuk untuk membayar 'helper' dan 'mafia'.
"Kesepakatannya Rp 20 juta per orang tiap bulan. Kami ada 11 orang, jadi sekitar Rp 200 juta per bulan. Salah satunya untuk bayar 'helper' dan 'mafia'," kata saksi dr Herdaru di PN Semarang, Rabu (18/6/2025).
Herdaru adalah rekan seangkatan dokter Aulia Risma. Dia mengatakan, 'helper' ialah sebutan untuk mahasiswa S1 yang digaji para residen untuk membantu para residen dalam mengerjakan tugas senior.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan, para helper dan mafia bertugas menangani keperluan sehari-hari seperti mengerjakan jurnal senior, membeli makanan, mencuci perlengkapan senior, hingga menyiapkan kendaraan operasional.
"Saya mencari jurnal permintaan dari angkatan 76. Jadi pihak ketiga itu kami istilah 'mafia', itu orang yang kita rekrut dan gaji untuk mengerjakan tugas dari senior. Kebanyakan yang masih S1. Itu junior jauh," ujar Herdaru.
"Karena kami satu angkatan punya link masing-masing. Akhirnya kita rekrut dan kita bayar dari uang kas kami," sambungnya.
Herdaru menjelaskan, sistem transportasi dan logistik untuk senior juga ditanggung oleh angkatan junior. Bahkan termasuk bensin dan camilan.
"Kalau senior butuh mobil, kami siapkan. Mobil harus full bensin, ada snack. Itu untuk DPJP dan senior. Beda ya, DPJP punya perlakuan khusus juga," ucap dia.
Meski dirinya sempat cuti karena tidak sanggup mengikuti beban yang diterimanya, Herdaru mengaku tetap diwajibkan membayar kas. Hal itu juga dialami almarhumah Aulia Risma saat mengambil cuti.
"Tetap ditarik. Kalau saya nggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp 20 juta," kata dia.
Herdaru juga mengungkap berbagai tugas nonakademik yang dibebankan kepada mahasiswa baru. Pada semester pertama, dia mengaku banyak bertugas sebagai kurir dan pekerja logistik.
"Semester pertama siang bertugas semacam kurir antar jemput. Misal ada sarapan, itu list dari pagi. Misal fotokopi, itu kegiatan rutin," ujar Herdaru.
Dia juga menyebut ada struktur organisasi internal dalam angkatan, lengkap dengan ketua, bendahara, seksi keilmuan, hingga seksi alat medis (insul). Struktur organisasi itu untuk mengatur pembagian tugas antar sesama residen dalam memenuhi kebutuhan senior.
Herdaru menambahkan, almarhumah Aulia sempat beberapa kali mengeluh soal beratnya tugas dan tekanan dari senior. Setelah sempat mengambil cuti karena saraf terjepit, Aulia masih menjalani pola pendidikan yang serupa.
"Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa nggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya nggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur," jelasnya.
Setelah muncul instruksi menteri (inmen) usai polemik soal 'pasal anestesi' yang viral di media sosial, Herdaru bilang ada perubahan sistem. Prodi kemudian merekrut helper resmi dan beberapa beban kerja residen semester awal mulai dikurangi.
"Kemudian off lagi kedua, baru saya masuk lagi, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau nggak salah," pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho, dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
(dil/apl)