Terbukti Cabuli Anak di Bawah Umur, Pendeta Semarang Divonis 7 Tahun Bui

Terbukti Cabuli Anak di Bawah Umur, Pendeta Semarang Divonis 7 Tahun Bui

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Selasa, 12 Agu 2025 12:52 WIB
Pendeta Adi Suprobo terbukti bersalah mencabuli anak di bawah umur divonis 7 tahun penjara di PN Semarang, Selasa (12/8/2025).
Pendeta Adi Suprobo terbukti bersalah mencabuli anak di bawah umur divonis 7 tahun penjara di PN Semarang, Selasa (12/8/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Seorang pendeta, Adi Suprobo, divonis 7 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang. Adi dinyatakan terbukti bersalah mencabuli anak secara berulang hingga korban trauma berat.

Sidang vonis terhadap Adi Suprobo dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Noerista.

"Menjatuhkan pidana penjara kepada Adi Suprobo selama 7 tahun dan denda Rp 1 miliar. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan," kata Noerista di PN Semarang, Selasa (12/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Noerista menyatakan perbuatan cabul Adi Suprobo dilakukan lebih dari sekali dan melibatkan lebih dari satu korban. Perbuatan bejat itu meninggalkan luka psikologis mendalam pada korban hingga sempat tak mau sekolah.

ADVERTISEMENT

Selain di rumah, terdakwa juga terbukti melakukan pelecehan di tempat umum seperti di Tawangmangu dan sebuah mal di Kota Semarang. Hakim menjelaskan terdakwa memanfaatkan posisinya sebagai tokoh agama untuk mendekati korban.

"Kesimpulan yang didapat, semua anak korban mengalami trauma dan ketakutan seumur hidup," ungkapnya.

Dalam kasus ini majelis hakim meminta barang bukti berupa pakaian korban dikembalikan. Kemudian masa tahanan yang sudah dijalani terdakwa akan dikurangkan dari hukumannya.

Atas perbuatannya majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak.

Kuasa Hukum Pikir-pikir Banding

Mendengar penjelasan hakim, penasihat hukum terdakwa dan jaksa penuntut umum (JPU) sama-sama memutuskan untuk pikir-pikir selama 7 hari. Kuasa hukum terdakwa, Emanuel Alvares, mengatakan pihaknya menghormati putusan tersebut.

"Putusan hakim wajib dipatuhi oleh semua pihak. Namun, terdakwa masih punya hak untuk mengajukan upaya hukum. Kami ambil sikap pikir-pikir," kata Emanuel usai sidang.

Menurutnya, masa pikir-pikir selama 7 hari akan digunakan untuk memutuskan apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan. Ia enggan mengomentari putusan hakim yang lebih rendah dua tahun dibanding tuntutan JPU yakni 9 tahun 6 bulan.

Respons Kuasa Hukum Korban

Kuasa hukum korban, Edi Pranoto, menilai putusan ini merupakan bentuk proses peradilan yang memberikan rasa keadilan bagi korban. Edi menilai meski putusan hakim lebih rendah, hukuman itu sudah cukup memberi efek jera.

"Apa pun putusannya, bagi kami ini yang terbaik untuk peristiwa ini. Perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan siapa pun karena akan merusak psikologis dan perkembangan anak," ujarnya.

Edi menjelaskan korban mengalami trauma berat karena perbuatan terdakwa dilakukan berulang kali, bahkan saat menjalankan aktivitas keagamaan.

"Modusnya, korban diajak doa bersama di kamar. (Ritual pembersihan diri?) Iya seperti itu," katanya.

"Pelaku ini pendakwah komunitas, bisa pindah-pindah. Jadi korban ada di Temanggung, Kudus, Ambarawa. Dia penceramahnya. Kalau dua korban di persidangan ini dari Semarang semua," lanjutnya.

Menurut Edi, korban dalam perkara ini dua orang. Namun, dia menyebut ada pula saksi-saksi yang juga pernah mengalami pelecehan seksual di tahun-tahun sebelumnya, sejak 2014.

"Ada yang pernah mengalami hal serupa tapi akhirnya hanya jadi saksi karena peristiwanya tidak masuk berkas," ungkapnya.

Edi menambahkan korban masih menjalani pendampingan psikologis. Saat bersaksi di persidangan, korban sempat histeris ketika berhadapan dengan terdakwa.

"Anak ini cerdas dan bisa menceritakan dengan runtut, tapi ketika melihat terdakwa dia langsung menangis histeris. Itu bukti trauma mendalam," jelasnya.

Kasus ini bermula dari laporan keluarga korban ke polisi pada Juli 2024. Perbuatan terdakwa dilakukan di rumah korban dan juga di tempat umum, dengan modus mengajak korban ke kamar mandi atau ruangan tertutup. Terdakwa lantas ditahan sejak November 2024.




(ams/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads