Diari dr Aulia soal Bullying di PPDS Undip Dibacakan di Sidang: Sakit Sekali

Diari dr Aulia soal Bullying di PPDS Undip Dibacakan di Sidang: Sakit Sekali

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 06 Agu 2025 14:07 WIB
Terdakwa Zara Yupita Azra memberi kesaksian dalam sidang kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (6/8/2025).
Terdakwa Zara Yupita Azra memberi kesaksian dalam sidang kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (6/8/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Isi buku harian pribadi (diari) residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma dibacakan di persidangan. Terungkap rasa sedih mendalam dari dr Aulia yang diduga menjadi korban bullying itu.

Diari itu dibacakan JPU dalam sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan PPDS Undip di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djohan Arifin itu menghadirkan Terdakwa Zara sebagai saksi mahkota.

"Izin untuk membacakan beberapa yang dicurhatkan oleh Risma di dalam diari. Mungkin tidak saya ambil semua, tetapi ini beberapa soal pengantar saja. 'Aku tidak bisa berdiri sendiri tanpamu. Aku sangat lemah. Aku sebegitu rapuhnya. Aku nggak bisa menanggung semuanya sendiri'," kata JPU di PN Semarang, Rabu (8/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku lelah dengan semua kalau Mas tahu. Jalannya masih sangat panjang. Mas tahu ini sangat berat banget buat aku. Aku minta maaf. Aku yang terlalu lemah. Aku sudah berusaha semampuku, tapi sampai kapan aku harus pulang ataupun bekerja dengan berurai air mata? Aku sakit, aku sakit di pandang sebelah mata setiap hari," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Mendengar itu, Zara yang duduk di kursi saksi, hanya bisa menunduk. Ia tampak terdiam saat mendengar tulisan dr Aulia yang menggambarkan penderitaan fisik dan psikisnya selama mengikuti pendidikan PPDS Anestesi di RSUP Dr Kariadi, Semarang.

Dalam tulisannya, dr Aulia mengaku tak diperlakukan sebagai manusia dan tidak disapa. Ia juga mengeluhkan punggungnya yang sakit akan tetapi tak ada orang yang peduli.

"Aku yang menahan sakitnya, aku masih bisa, masih harus bekerja. Seperti seolah aku orang sehat. Aku ingin tenang. Aku ingin penyiksaan ini berakhir. Tuhan, ampuni hamba-Mu, Tuhan," kata JPU membacakan diari dr Aulia.

dr Aulia menuliskan jika menangis setiap malam karena harus menanggung rasa sakit itu setiap hari. Dalam diari yang diduga ditujukan kepada seorang laki-laki itu ia mengaku lelah dan tak bisa menunggu lebih lama lagi.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi dengan berurai air mata. Kalau nanti aku nggak ada, maafkan perbuatanku selama ini. Aku sayang sama kamu. Maafin aku. Tolong jangan lupakan aku terlalu cepat. Semoga kamu mendapat penggantiku dengan lebih baik," kata JPU.

"Aku masih ingin melakukan banyak hal untuk hidupku, untuk Mas untuk keluargaku. Tetapi rasa sakitnya begitu besar. Setiap hari kadarnya tidak berkurang. Aku hanya ingin tidak sakit lagi. Aku hanya ingin tidak menangis lagi. Aku ingin hidup sebagai manusia biasa. Semoga kita dipertemukan lagi. Semoga Tuhan mengampuni aku," sambungnya.

Jaksa juga membacakan bagian catatan yang tertanggal 5 Juli 2024. Dalam tulisan itu, Aulia mengaku tidak sanggup lagi menjalani pendidikan yang menurutnya sangat menyakitkan.

"Satu semester aku berjuang di sini, terlalu berat untukku. Sakit sekali, beban fisiknya begitu besar. Aku ingin berhenti. Sakit sekali, sungguh sakit. Rasanya masih sama, aku ingin berhenti. Aku tidak sanggup setiap hari bekerja seperti ini," kata dia.

Dalam tulisan itu, Aulia mengaku sudah bersabar dan selalu berharap kepada Tuhan. Namun, dia merasa tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Apa Tuhan membenciku? Aku sudah bersabar, Tuhan. Aku selalu menjerit mohon pertolongan karena tapi kenapa aku dibiarkan? Aku hanya manusia biasa. Tulang terasa amat sangat sakit setiap pulang," urainya.

"Aku tidak sanggup lagi meneruskan sakit ini. Aku mohon maafkan aku. Maafkan aku yang menyerah. Aku sudah berjuang, aku sudah sangat berusah. Aku mohon, aku mohon aku sudah tidak sanggup lagi bila harus menanggung lebih lama lagi," sambungnya.

Usai membacakan isi diari, Jaksa Sandhy Handika, kemudian bertanya kepada Zara tentang kondisi sosial Aulia selama pendidikan. Termasuk soal bentuk pengabaian-pengabaian yang dilakukan terhadap dr Aulia.

Zara menyebut mendiang cenderung kerap menarik diri dari teman-temannya.

"Almarhum cenderung menarik diri dan dia hanya curhat ke satu chief saja. Tidak dekat dengan teman-temannya," kata Zara.

Zara mengaku tidak tahu pasti apakah yang dirasakan Aulia sebagai pengabaian benar-benar terjadi atau tidak. Namun ia tidak menampik jika banyak residen lain juga mengalami tekanan psikis, bahkan sampai mengalami depresi.

"Karena beberapa teman saya ngobrol, kakak kelas saya di angkatan 74, di angkatan adik saya, ada (yang depresi). Bahkan saya pun pada saat skrining, saya jujur awal 2024 itu juga dikontak pihak rekam medis. Saya saya termasuk salah satu di situ," ugkapnya.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(ams/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads