Pakar Unika Jelaskan Beda Abolisi dan Amnesti: Tak Berarti Putusan Keliru

Pakar Unika Jelaskan Beda Abolisi dan Amnesti: Tak Berarti Putusan Keliru

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Jumat, 01 Agu 2025 11:24 WIB
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (tengah) meninggalkan ruang sidang usai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara, denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan kepada mantan menteri perdagangan itu. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/sgd/tom.
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (tengah) meninggalkan ruang sidang usai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Semarang -

Pakar Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Theo Negoro, menyoroti kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Menurutnya, kedua jenis pengampunan ini memiliki dampak hukum yang sangat berbeda.

Dosen Ilmu Hukum itu mengatakan, pemberian abolisi kepada Tom Lembong akan menghapus secara keseluruhan peristiwa pidana yang menjeratnya. Dalam sistem hukum, Tom Lembong tidak lagi tercatat sebagai terdakwa maupun terpidana.

"Seakan-akan proses penyidikan dan vonis pengadilan tidak pernah terjadi. Dalam praktiknya, ini berarti catatan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi impor gula milik yang bersangkutan dihapuskan," kata Theo saat dihubungi detikJateng, Jumat (1/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaliknya, amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya divonis dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antar-waktu (PAW) DPR RI Harun Masiku, hanya membebaskannya dari hukuman penjara dan denda. Namun, status hukum Hasto sebagai terpidana tetap tercatat dalam sistem peradilan.

ADVERTISEMENT

"Statusnya sebagai orang yang pernah dihukum tetap tercatat di sistem peradilan bahwa dia adalah terpidana kasus yang menimpanya. Setelah amnesti, Hasto dibebaskan dari tahanan dan hak-hak politiknya dipulihkan," tuturnya.

Bukan Koreksi Putusan

Akademisi hukum tata negara itu menyebut, pemberian abolisi dan amnesti merupakan bagian dari kewenangan presiden sebagai kepala negara, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Namun, pemberian pengampunan itu tetap harus mendapat persetujuan DPR.

"Pemberian amnesti dan abolisi bukanlah koreksi atas kesalahan pengadilan, melainkan kebijakan politik yang melekat pada hakikat Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," ungkapnya.

Theo menilai, pemberian abolisi dan amnesti bukan menandakan jaksa atau hakim telah keliru dalam menegakkan dakwaan atau menjatuhkan vonis.

"Baik jaksa maupun pengadilan telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur, mengacu pada asas-asas peradilan pidana seperti asas due process of law dan asas pembuktian yang objektif," tuturnya.

Theo menilai, keputusan Prabowo untuk mengampuni atau menghapus peristiwa pidana, tidak meralat argumentasi hukum atau fakta-fakta yang telah terbukti di persidangan. Karena alasan-alasan itu disetujui DPR, maka pemberian Amnesti dan Abolisi sah secara hukum

"Khusus untuk pemberian abolisi dan Amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto, saya rasa alasan yang paling relevan adalah politik, yaitu untuk menjaga stabilitas politik dan ketertiban masyarakat," jelasnya.

Terkait perbedaan pilihan pengampunan Presiden, dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata itu melihat, pemberian amnesti dan abolisi itu tergantung kepada masing-masing karakter kasus Tom Lembong dan Hasto.

"Sampai saat ini belum ada keterangan lebih lanjut dari Menteri Hukum kenapa pembedaan ini diberikan. Namun, saya melihat ukuran politik dan ketertiban masyarakat yang dilihat untuk membedakan kedua kasus tersebut," kata dia.

"Meski keputusan ini menimbulkan gebrakan, tetapi dalam Ilmu Hukum Tata Negara pemberian abolisi bukan menciptakan norma baru yang mengikat dalam selayaknya jurisprudensi, melainkan Hak Konstitusional yang dimiliki Presiden, setelah disetujui DPR," lanjutnya.

Harus Transparan

Kendati demikian, kata Theo, tidak bisa dipungkiri bahwa mekanisme itu dapat menjadi tidak adil jika dalam proses pemberiannya tidak dilakukan secara objektif dan terbuka, bukan karena kedekatan politik semata.

"Secara sosiologis, keputusan ini bisa memunculkan rasa ketidakadilan jika tidak disertai alasan yang transparan dan akuntabel," jelasnya.

Menurutnya, penting agar proses pengajuan, seleksi, dan pemberian abolisi maupun amnesti dilakukan secara terbuka dan berdasarkan kriteria objektif, bukan sekadar karena kedekatan politik semata.

"Oleh karena itu, pemberian abolisi dan amnesti berpotensi menciptakan ketimpangan akses terhadap keadilan, terutama jika masyarakat menilai hanya tokoh tertentu yang 'punya akses' ke Presiden atau elite politik yang bisa mendapatkan pengampunan," ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dan amnesti ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Permintaan itu sudah disetujui DPR RI.

Keputusan DPR tersebut diungkap setelah diadakannya rapat konsultasi Kementerian Hukum dan para pimpinan Komisi III DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut amnesti Tom Lembong itu termasuk dalam 1.116 orang lain.

"Dan tadi kami telah mengadakan rapat konsultasi. Dan hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan," kata Dasco usai rapat di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (31/7/2025).




(afn/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads