Kepala Bagian (Kabag) Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setda Kota Semarang, Hendrawan Purwanto, mengaku sempat menyobek dokumen saat ruangannya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyobek beberapa dokumen itu lantaran panik.
Hal itu disampaikan Hendrawan saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri.
Hendrawan, yang menggantikan Junaedi sebagai Kabag PBJ sejak 2023, mengakui aksinya menyobek dokumen adalah inisiatif pribadi karena panik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulanya, ia ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK, Rio Vernika Putra. Ia pun mengaku awal kasus dugaan korupsi itu terkuak, ada penggeledahan di ruangannya.
"(Ada barang bukti yang disita?) Ada, dokumen, termasuk sobekan kertas. Itu catatan lama. Saat itu ada penggeledahan, khawatir nanti banyak pertanyaan, saya panik. (Catatannya) Terkait pengadaan barang jasa," kata Hendrawan di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (16/5/2025).
Dokumen yang disobek tersebut ditemukan saat penggeledahan KPK, termasuk barang bukti lainnya berupa dokumen penting. Dokumen itu pun diperlihatkan dalam persidangan. Tampak salah satunya merupakan tulisan Kapendi, yang kerap disebut sebagai tangan kanan Mbak Ita.
"Itu referensi (perusahaan) dari Kapendi waktu itu, agar kalau bisa menang (proyek). (Kenapa disobek-sobek?) Ya, tadi kan panik," ungkapnya.
Diperlihatkan pula surat kaleng yang ditujukan kepada Mbak Ita. Surat itu juga sempat Hendrawan sobek-sobek saat penggeledahan.
"Itu surat terkait kepegawaian. Surat kaleng disuruh (Mbak Ita) untuk mencari siapa pengirimnya," tuturnya.
Saat penggeledahan oleh KPK dilaksanakan, Hendrawan juga mengaku dirinya sempat berkomunikasi dengan Mbak Ita.
"Waktu itu pagi saya berkomunikasi, (ditanya Mbak Ita) 'kok ini ada penggeledahan, Mas?' Saya jawab 'siap, Bu'," paparnya.
Namun, saat ditanya penasihat hukum Mbak Ita dan Alwin Basri, Hendrawan membantah adanya arahan dari Mbak Ita terkait penyobekan dokumen itu.
"(Menyobek itu diperintah Bu Ita?) Tidak. (Atas inisiatif sendiri?) Iya," tegasnya.
Dalam kesaksiannya, Hendrawan juga mengaku menerima uang transport sebesar Rp 2,5 juta saat melakukan kunjungan ke pabrik mebel PT Dekasari Perkasa di Pemalang. Uang itu disebut diberikan dalam bentuk goodie bag bersama tumbler.
"Diberikan kayak tumbler sama biaya transport. (Asalnya dari mana?) Saya juga kurang tahu, bukanya itu kan saya waktu di Jakarta. Waktu itu saya perjalanan langsung. Nggak tahu kalau dalamnya ada amplop," ungkapnya.
Nama Martono, kontraktor yang diduga menyuap Mbak Ita dan Alwin untuk memenangkan beberapa proyek besar di Pemkot Semarang, juga ikut disinggung.
Saat ditanya JPU, Hendrawan mengaku sempat diminta memberikan perhatian pada Martono lewat sebuah 'referensi' yang disampaikan Alwin Basri.
"(Kata Alwin) 'Ini ada teman, ada teman, ada teman, hanya referensi kalau bisa (yang dimenangkan) ini'. Itu seingat saya, setelah paket tayang 2022, di rumah Pak Alwin," tuturnya.
"(Ditindaklanjuti?) Tidak, ya sudah itu hanya sebagai referensi, karena semua kewenangan ada di Pokja (kelompok kerja). Ada yang menang, ada yang tidak menang," lanjutnya.
Martono kemudian disebut memenangkan sejumlah proyek besar, termasuk renovasi Dinas Perdagangan senilai Rp 750 juta, pembangunan rusun sekitar Rp 1 miliar, proyek gedung layanan kanker terpadu RSUD Wongsonegoro senilai Rp 28 miliar, dan proyek gedung 12 lantai sekitar Rp 78 miliar.
Namun, saat ditanya penasihat hukum Mbak Ita dan Alwin, ia menyebut Martono memenangkan proyek tersebut karena sudah sesuai standar lelang.
"Itu sudah sesuai standar dokumen di 2024, pekerjaan tender untuk RSWN itu pekerjaan paling efisien. (Yang dimenangkan yang paling menguntungkan negara?) Iya," paparnya.
Mbak Ita pun sempat menanggapi pernyataan Hendrawan. Ia mengatakan, kenapa sobekan kertas surat kaleng yang ditujukan kepadanya ada di Hendrawan, dan tidak meminta intel Pemkot Semarang untuk mencari tahu, karena Hendrawan pernah menemukan pengirim surat kaleng lain yang juga ditujukan kepadanya.
"Maksud saya kenapa surat itu ada di Hendrawan, saya minta tolong karena sekalian (carikan pengirim), baru kalau tidak ada mau dilaporkan ke polisi, tapi kadung digeledah," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan fee proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (21/4/2025).
"(Uang Rp 2,24 miliar) dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh dia.
Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.
Total, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(afn/rih)