Eks ASN Semarang Ngaku Dimutasi Usai Tak Beri Proyek untuk Penyuap Mbak Ita

Eks ASN Semarang Ngaku Dimutasi Usai Tak Beri Proyek untuk Penyuap Mbak Ita

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 16 Jun 2025 14:46 WIB
Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (16/6/2025).
Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (16/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi yang menjerat eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita) dan suaminya, Alwin Basri mengungkap dirinya pernah diminta Alwin memenangkan proyek untuk penyuap keduanya, Martono. Tapi hal itu tak diindahkan saksi.

Sidang lanjutan agenda pemeriksaan saksi ini digelar di Pengadilan Tipikor PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Dalam sidang itu, dihadirkan tiga saksi, salah satunya Junaedi, mantan Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (BPJ) serta eks Kepala Humas Sekretariat DPRD Kota Semarang.

Dalam kesaksiannya, Junaedi menerangkan, mulanya ia menjabat sebagai Kabag Pengadaan Barang dan Jasa Pemkot Semarang dari Oktober 2021 hingga Agustus 2024. Saat itu, ia diminta Alwin Basri yang menjabat sebagai Ketua DPRD Jateng untuk memenangkan proyek bagi Ketua Gapensi, Martono.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pak Alwin pernah memanggil saya di rumahnya. Intinya (Alwin bilang) 'tolong dibantu Bu Ita'. Setelah saya mencermati (kalimat) 'dibantu Bu Ita', karena di situ ada Pak Martono, saya berpikir soal pengadaan barang jasa," kata Junaedi dalam sidang, Senin (16/6/2025).

"Pernah sekali ketemu Pak Martono, bahas berkaitan dengan permintaan supaya nanti ada paket yang dimenangkan Pak Martono. Tidak menyebut secara spesifik," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Meski diminta, Junaedi mengaku tidak pernah menindaklanjuti karena permintaan itu tidak sesuai aturan pengadaan. Setelah dievaluasi, dari 18 paket pekerjaan, hanya satu yang dimenangkan karena lainnya tidak memenuhi syarat.

"2023 Pak Martono tidak pernah menang di proses pengadaan barang jasa, karena tidak pernah terpenuhi," ungkapnya.

Setelah tak memenangkan Martono, Junaedi kemudian menjadi Humas Sekretaris Dewan (Sekwan) Kota Semarang. Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti alasan dirinya dipindah jabatan pada 2023.

Namun, Jaksa Penuntut Umum, Rio Vernika Putra membacakan Berita Acara Pemeriksaan yang menuturkan bahwa saksi Junaedi menduga hal itu berkaitan dengan proyek yang gagal dimenangkan oleh Martono.

"Saya tidak mengetahui apa alasan atau dasar mutasi jabatan saya dari Kabag PBJ menjadi Kabag Humas Sekwan. Karena menurut saya kinerja saya baik selama menjadi Kabag PBJ Kota Semarang," kata Rio membacakan BAP milik Junaedi, dalam sidang.

"Namun menurut saya ada kaitannya dengan tidak menangnya Saudara Martono untuk pekerjaan proyek pembangunan gedung RS Wongsonegoro tahun 2023 karena saya tidak dianggap loyal dan tidak bisa mengakomodir kepentingan pimpinan. Saksi menerangkan BAP ini semua benar," sambungnya.

Junaedi kemudian menjelaskan alasan BAP bisa tertulis sedemikian rupa. Ia mengurai pertanyaan yang ia terima dari penyidik saat dimintai keterangan soal dugaan korupsi Mbak Ita dan suaminya.

"Pertanyaan penyidik 'apakah Pak Junaedi dalam melaksanakan pengadaan barang sudah baik?' saya bilang insyaallah sudah. Berikutnya 'kenapa Junaedi kenapa dipindah?' saya tidak tahu karena itu kebijakan dari pimpinan," ungkapnya.

"Berikutnya 'apakah Pak Junaedi dipindah karena tidak bisa mengakomodir kepentingan Pak Alwin?' saya jawab memang 2023 saya tidak bisa memenuhi keinginan Pak Alwin dan Pak Martono," lanjutnya.

Junaedi juga mengaku beberapa kali dipanggil ke rumah Alwin. Dalam pertemuan itu, Alwin disebut menitipkan nama Martono untuk bisa dimenangkan dalam sejumlah paket proyek, termasuk pembangunan RSWN yang nilainya di atas Rp 2 miliar.

"(Alwin bilang) 'Tolong dibantu untuk memenangkan Pak Martono'. Saya hanya menjawab akan saya usahakan karena kaitannya lelang itu saya tidak bisa memastikan," ungkapnya.

Meski telah berupaya menjaga profesionalitas, Junaedi juga mengaku tetap ditekan untuk memberi 'bocoran' soal lelang oleh Martono.

"Jadi memang saat itu dia minta bocoran untuk itu (lelang), (saya jawab) 'oke saya bantu tapi saat proses tender tidak akan saya bantu untuk yang berhubungan dengan pengadaan'," ucapnya.

Setelah proyek RSWN dimenangkan pihak lain karena dokumen Martono dinilai tidak memenuhi syarat administratif, Junaedi mengaku kembali dipanggil Alwin yang terlihat kecewa.

"Pak Alwin klarifikasi kok tidak bisa menang, saya sampaikan paket terakhir yang dibawa Pak Martono itu secara administratif tidak responsif, tidak memenuhi. Beliau langsung masuk kamar, saya langsung pulang," kata Junaedi.

Tanggapan Ita Eks Walkot Semarang

Sementara itu, Mbak Ita yang berkesempatan menanggapi pernyataan saksi mengatakan, mutasi jabatan tak mungkin dilakukan atas keputusannya sendiri.

"Mengenai mutasi jabatan, bukan saya seorang yang bisa menentukan, karena tadi sudah disampaikan saudara saksi Pak Junaidi, bahwa mutasinya ini banyak sekali," tuturnya dalam sidang.

Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan fee proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.

"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (21/4).

"(Uang Rp 2,24 miliar) Dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh dia.

Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.

Total, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.




(rih/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads