Dwi Feriyanto (23), terdakwa kasus pembunuhan dosen UIN Raden Mas Said Solo, Wahyu Dian Silviani (34), mengaku menyesali perbuatannya. Penyesalan itu muncul usai Dwi menghabisi nyawa Dian.
Hal itu disampaikan Dwi saat persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo. Dalam sidang itu dipimpin Majelis Hakim Deni Indrayana, Hakim Anggota Emma Sri Setyowati, dan Yesi Akhista
"Setelah (membunuh) itu saya menyesal, karena sudah mengambil nyawa korban. Saya mikirnya sudah terjadi, saya mau menjalani hukuman. Makanya saya tidak lari. (Tidak menyerahkan diri?) Saya belum ada nyali," kata Dwi saat persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo, Rabu (31/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus tersebut Hendra Oki Dwi Prasetya, meragukan penyesalan yang diucapkan terdakwa. Sebab, gestur terdakwa tidak menunjukan rasa penyesalan.
"Dari pengamatan saya, saat terdakwa menyampaikan rasa penyesalan. Itu dari gestur, mata, fisik, itu terlihat tidak ada rasa penyesalan sama sekali. Saya dalam beberapa kali persidangan, jika orang menyesal itu, dari gesturnya akan tampak juga secara fisik. Kalau ini hanya sebatas bilang dia menyesal," kata Hendro kepada awak media.
Dia menuturkan, terdakwa sebelumnya juga pernah melakukan perkelahian dengan pengamen. Keributan itu didasari perebutan wilayah. Dalam perkelahian itu, terdakwa mematahkan kaki pengamen tersebut
Hendro menilai, apapun yang disampaikan terdakwa dalam persidangan ini, Dwi memiliki hak alibi. Namun dari persidangan ini, Jaksa menemukan bukti baru yang tidak ada dalam berkas pemeriksaan.
"Ada yang dia tambah, seperti waktu perencanaan pertama alasannya mancing belut, yang lupa dibilang ke penyidik," ujarnya.
Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan dari JPU pada Senin (19/2) mendatang. Terdakwa terancam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman seumur hidup, atau hukuman mati.
"Kita memang membuktikannya di Pasal 340, ancamannya maksimalnya seumur hidup atau mati. Kami akan berupaya maksimal, dengan petunjuk pimpinan. Kemungkinan juga bisa dilakukan hingga Kejagung," jelasnya.
Ditemui terpisah, Kuasa Hukum Terdakwa Tri Rohmadi menanggapi respons JPU dan Majelis Hakim yang meragukan penyesalan terdakwa. Menurutnya, ekspresi terdakwa memang tidak pernah menunjukkan rasa emosional.
"Kita tidak tahu ya bagaimana psikologi orang lain, kita hanya menduga-duga bahwasannya terdakwa menyesal. Tapi klien kami memang ekspresi wajahnya standar, dari kita melakukan pemeriksaan wajahnya memang flat-flat saja," kata Tri.
Dalam persidangan itu, terdakwa tampak pasrah ketika diberi tahui Majelis Hakim dirinya bisa dijerat hukuman mati. Tri mengatakan, sebenarnya terdakwa ingin mendapatkan keringanan hukuman.
"Waktu komunikasi sebelumnya, inginnya dihukum seringan-ringannya," pungkasnya.
(apu/ahr)