Kejaksaan Negeri (Kejari) Kudus masih menelusuri aliran dana hibah dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Ketua KONI Kudus periode 2021-2025, Imam Triyanto. Kejari Kudus akan memanggil kembali para pengurus KONI Kudus. Kerugian negara dalam kasus ini disebut Rp 2,57 miliar.
"Untuk membenarkan (apakah ini) korupsi berjamaah, karena saat ini masih proses berjalan, kita belum menyimpulkan dari data-data yang masih kita kumpulkan," kata Kepala Kejari Kudus, Henriyadi W Putro saat ditemui wartawan, Rabu (20/12/2023).
Henriyadi mengatakan kerugian akibat korupsi dana hibah KONI tersebut mencapai Rp 2,57 miliar. Dana itu bersumber dari hibah tahun 2022 dan tahun 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Adapun kerugian negara Rp 2,57 miliar terdiri dari anggaran 2022 senilai Rp 1,6 miliar dan 2023 senilai Rp 971 juta," ungkapnya.
Henriyadi menjelaskan, pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk mantan Bupati Kudus HM Hartopo. Kejari juga berencana memanggil para pengurus KONI Kudus. Hal itu bertujuan untuk menelusuri aliran dana hibah yang diduga dikorupsi.
"Terkait dengan ini juga pengurus-pengurus KONI akan kita panggil kembali terkait dengan bendahara, terkait dengan orang-orang yang pernah menerima aliran dana terkait dengan keuangan KONI," jelasnya.
"Nanti kalau sudah komprehensif, apakah ini berjamaah, apakah ini dilakukan oleh person, akan kita jawab setelah lengkap," kata Henriyadi.
Eks Ketua KONI Kudus Jadi Tersangka
Diberitakan sebelumnya, Ketua KONI Kudus periode 2021-2025, Imam Triyanto, ditetapkan tersangka oleh Kejari Kudus. Imam yang mengundurkan diri pada Mei 2023 lalu itu diduga korupsi yang menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah.
"Bahwa IT selaku Ketua KONI periode 2021-2025 sebagai tersangka," jelas Kepala Kejari Kudus, Henriyadi W. Putro dalam keterangan diterima detikJateng, Jumat (15/12).
Henri menjelaskan, pada tahun 2022, KONI Kudus mendapatkan alokasi dana hibah dari pemerintah yang bersumber dari APBD sebesar Rp 8,4 miliar dan bersumber dari APBD perubahan sebesar Rp 2,5 miliar.
"Dalam pelaksanaannya penggunaan anggaran saudara IT memerintahkan saksi A sebagai staf untuk melaksanakan pencarian pada tahun 2021. Namun ditolak oleh Bank Jateng karena saudara A tidak sesuai jabatan karena bukan bendahara," terang dia.
"Selanjutnya untuk menyikapi hal itu, tersangka meminta L selaku bendahara untuk mencairkan anggaran tersebut. Namun selanjutnya saudara L mengetahui akan penggunaan uang dana hibah KONI tidak langsung didistribusikan sesuai NPHD," ia melanjutkan.
Digunakan buat Bayar Utang
Selanjutnya, pada 14 Maret 2022, dilakukan pencairan tunai oleh bendahara atas perintah tersangka senilai Rp 5 miliar. Uang itu pun diserahkan tersangka.
"Namun tersangka menggunakan tersebut tidak sesuai dengan rencana penggunaan dana pada naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang seharusnya didistribusikan untuk pengkab namun digunakan untuk pembayaran utang pribadi," jelasnya.
"Selain itu juga ditemukan beberapa penyaluran anggaran yang tidak sesuai LPJ," ia melanjutkan.
Seperti pada bidang media dan humas dialokasikan NPHD sebesar Rp 50 juta, namun faktanya ditemukan LPJ senilai Rp 300 juta. Lalu Pengkab ISSI dialokasikan Rp 90 juta, namun faktanya hanya menerima Rp 70 juta. Sedangkan, sisanya sebesar Rp 20 juta dimintai tersangka digunakan kepentingan pribadi.
"Pengkab FPTI yang dialokasikan sebesar Rp 75 juta namun faktanya hanya menerima Rp 45 juta, sedangkan sisanya sebesar Rp 30 juta diminta tersangka untuk kepentingan pribadi," jelas Henri.
Henri melanjutkan pada tahun 2023 KONI Kudus mendapatkan dana hibah dari APBD Kudus sebesar Rp 9 miliar. Anggaran digunakan untuk pengadaan perlengkapan kontingen Porprov sebesar Rp 971,5 juta, dan catering Rp 528,57 juta, dan Rp 371,700 juta.
"Tersangka IT melakukan pembayaran katering senilai Rp 528,570 juta namun setelah uang ditransfer pihak ketiga, tersangka memerintahkan untuk mengembalikan uang Rp 100 juta untuk saksi S, dan Rp 229,626 untuk SO guna pembayaran utang pribadi," jelasnya.
"Lalu tersangka melakukan pembayaran Rp 371,7 juta untuk katering dengan cara mentransfer namun setelah masuk ke rekening saksi HK yang dimintai secara tersangka IT sebesar Rp 170 juta," Henri melanjutkan.
Tersangka disangkakan dengan pasal ayat 2 (1) jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman maksimal 20 tahun.
"Subsider pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantas korupsi, maksimal 20 tahun penjara," pungkasnya.
(dil/ahr)