Konsultasi Hukum

Pembagian Warisan Berdasarkan Wasiat Ibu, Bagaimana Prosesnya?

Ahmad Rafiq - detikJateng
Jumat, 18 Nov 2022 16:27 WIB
Ilustrasi warisan. Foto: Getty Images/iStockphoto/Ilya Burdun
Solo -

Pembagian waris merupakan hal yang lumrah dan dialami oleh semua keluarga. Pada umumnya proses ini dijalani melalui sebuah musyawarah keluarga.

Namun tidak jarang warisan menjadi sebuah persoalan atau sengketa. Hal itu membuat pembagian waris perlu dibicarakan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan perpecahan dalam keluarga.

Salah satu pembaca detikJateng mengkonsultasikan persoalan terkait warisan. Sebenarnya tidak ada masalah yang dialaminya. Pembaca ini mengantisipasi agar warisan tersebut tidak menjadi masalah di masa yang akan datang.

Pertanyaan

Pasangan suami A dan istri B memiliki aset berupa tanah dan rumah yang dibeli dalam ikatan pernikahan.

Mereka lantas memiliki dua orang anak yang bernama C dan D.

Sebelum meninggal, B memberikan wasiat untuk memberikan aset tanah untuk anak bernama C. Sedangkan aset berupa rumah dibagi rata untuk C dan D.

Adapun A juga menyatakan setuju dengan wasiat tersebut.

Setelah B meninggal, A saat ini berencana menikah lagi tanpa persetujuan kedua anaknya.

1. Bagaimana alur yang harus dijalani C dan D untuk bisa mengurus warisan itu?

2. Apa yang harus dilakukan untuk antisipasi agar di kemudian hari istri baru A tidak mempermasalahkan aset tersebut?

Hormat Kami,

Hans

Jawaban

Berkaitan dengan hal tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam Pernikahan A dan B tersebut setelah pernikahan berlangsung A dan B memiliki tanah dan bangunan, di mana tanah dan bangunan tersebut merupakan harta gono-gini, dikarenakan tanah dan bangunan tersebut merupakan tanah dan bangunan yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sekarang telah diperbarui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Harta tersebut menjadi harta bersama dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan dan juga sertifikat Hak Atas tanah (dimana tanggal pembelian tanah dan bangunan tersebut dilakukan setelah perkawinan). Oleh karena itu yang memiliki hak atas harta gono-gini adalah A dan B, dan juga ahli waris dari A dan B tersebut apabila ada .

Berkaitan dengan kasus tersebut di atas B telah meninggal dunia, dan dimana B meninggal dunia meninggalkan harta yang diperoleh saat pernikahan berlangsung berupa tanah dan bangunan. Oleh karena itu perlu ditelusuri terlebih dahulu bahwa yang menjadi ahli waris dari B disini adalah A sebagai suami dari B dan juga anak-anaknya yaitu C dan D, di mana si C dan D merupakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari A dan B, sehingga C dan D merupakan ahli waris yang sah juga dari si B.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Oleh karena itu apabila orang tersebut beragama nonmuslim sehingga tunduk pada KUH Perdata, maka suami (A) dan kedua anaknya yaitu C dan D berhak menjadi ahli waris pada golongan pertama.

Sedangkan apabila orang tersebut beragama muslim, sehingga tunduk pada hukum Islam, maka Berdasarkan ketentuan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam, Berbunyi bahwa:
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

  • Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak: perempuan, saudara perempuan dari nenek.
  • Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
  • Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, berkaitan dengan harta warisan, maka apabila beragama Muslim dan tunduk pada hukum Islam, maka sama dengan hukum pada KUH Perdata, Suami (A) dan kedua anaknya yaitu C dan D berhak menjadi ahli waris dari B, yang mana harta warisnya adalah berupa tanah dan bangunan tersebut.

Perlu diketahui bahwa itu bukan hanya merupakan harta warisan yang ditinggalkan B tetapi benda yang merupakan tanah dan bangunan tersebut adalah harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan yang sah antara A dan B, oleh karena itu berkaitan dengan hal tersebut, maka yang berhak atas harta bersama adalah A dan B.

Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan istri kedua dari A ketika A menikah lagi, maka istri kedua atau istri setelahnya tidak memiliki hak apapun atas harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan yang sah antara A dan B tersebut

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) Huruf b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi.

Berdasarkan dari ketentuan Pasal tersebut terlihat bahwa apabila A menikah lagi, maka istri kedua tidak memiliki hak apapun atas tanah tersebut, karena yang berhak hanya A dan B, kemudian dikarenakan B sudah meninggal, maka sehingga dapat menjadi turun waris kepada anak-anaknya yaitu C dan D.

Untuk proses pengurusan warisan ada di halaman selanjutnya




(ahr/ams)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork