Jumlah delapan orang ajudan Irjen Ferdy Sambo disorot. Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Ito Sumardi mengaku heran karena pada zamannya, ajudan seorang perwira tinggi hanya ada dua orang.
Dikutip dari detikX, Selasa (6/9/2022), Ito mengungkap fakta Ferdy Sambo memiliki delapan ajudan menjadi bukti adanya masalah dalam manajemen sumber daya manusia Polri. Dia kemudian mengungkap pada masa dirinya masih aktif sebagai polisi, perwira tinggi hanya memiliki dua orang ajudan.
"Kalau sampai delapan (seperti Sambo), Kapolri saja kalah banyak," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu Ito menilai Irjen Ferdy Sambo masih terlalu muda saat menjadi jenderal bintang dua dan menjabat sebagai Kadiv Propram.
Fery Sambo hanya merasakan satu tahun sebagai jenderal berbintang satu saat menjadi Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Dia lalu menjabat sebagai Kadiv Propram dengan bintang dua di pundaknya pada 2020.
Baca juga: Pembunuhan Yosua dan Rancunya Tugas Ajudan |
"Sambo itu masih terlalu muda. Usia 46 sudah mendapat bintang dua. Saya usia 46 saja masih kombes," ujar Ito.
Ito menilai Polri terlalu cepat mempromosikan Ferdy Sambo. Padahal ada banyak orang yang lebih senior dan lebih berprestasi daripada Sambo.
"Menurut saya, seorang pimpinan itu memerlukan maturity, kedewasaan. Kalau terlalu cepat diorbitkan dan memiliki kekuasaan yang sangat besar, dia akan abuse of power," ucap Ito.
Kesaksian Para Mantan Ajudan Jenderal Polisi soal Tugas Cuci -Setrika Baju
Dua orang mantan ajudan para jenderal polisi mengisahkan perjalanan kariernya. Keduanya menceritakan tugas hingga sikap atasan.
Dilansir detikX, T menceritakan rasa bangganya saat lolos seleksi aide-de-camp (ADC). Sebagai polisi rendahan saat itu, T punya kesempatan dekat dengan perwira tinggi (Pati) Polri. Posisi yang tak bisa dirasakan teman-teman lain sepangkatannya.
Sebagai ajudan seorang komisaris jenderal, T banyak membantu tugas-tugas kedinasan atasannya. Termasuk berkomunikasi dengan banyak orang.
T bercerita soal komunikasi yang paling berkesan buatnya. Dia bertugas untuk 'memerintah' seorang komisaris besar polisi yang jadi bawahan bosnya.
"Saya ke ruangannya dan bilang bahwa dia dipanggil oleh Bapak," kata T cengengesan.
"Dia kemudian langsung lari ke ruangan Bapak," lanjut dia.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Setelah beberapa tahun kemudian, setelah bosnya pensiun dan T kembali ke kesatuannya di Jawa Timur dengan pangkat perwira pertama, si kombes berpangkat jenderal. Jenderal tersebut menjadi atasan T dan masih ingat dengan kelakuannya saat masih di Jakarta.
Pada suatu pertemuan yang dihadiri banyak polisi, jenderal itu berpidato dan berseloroh tentang T.
"Kau ini dulu sering nyuruh-nyuruh saya waktu di Jakarta," kata si jenderal sambil menunjuk-nunjuk T.
T mengaku beruntung karena bosnya orang yang baik, profesional, dan tidak pernah mencampuradukkan urusan dinas dengan pribadi. Namun menurutnya tidak semua ajudan memiliki keberuntungan yang sama.
T mengatakan ada banyak ADC yang diperlakukan semena-mena. Ada yang disuruh menyapu, mencuci pakaian, menyetrika, dan lain-lain.
"Kalau berbuat salah, bahkan ada yang sampai ditempeleng," katanya.
"Ini bukan hanya yang jadi ADC pati Polri. Kan, ada juga polisi jadi ADC pejabat negara," tutur T.
Hal senada disampaikan eks ajudan jenderal polisi lainnya, F. F yang kini sudah menjadi perwira menengah mengatakan ada banyak ADC yang diperintah bosnya bukan untuk tugas kedinasan melainkan untuk urusan-urusan keluarga. Mulai dari menyetir mobil dan mengamankan rumah.
Namun F beruntung memiliki atasan yang bisa membedakan apa tugas polisi yang menjadi ajudan, dan apa tugas yang seharusnya dikerjakan oleh sipil.
Karena itu atasan F membayar jasa sopir dan satpam yang bukan dari Polri.
"Tugas ajudan itu sebenarnya, ya, melekat dengan urusan dinas saja. Kalau urusan pribadi, ya, kita tidak ikut campur," kata F.
Menurut F, memang tidak ada aturan rigid mengenai tugas-tugas ajudan. Karena itu, pengalaman setiap ajudan berbeda-beda.
"Semua tergantung bosnya," kata dia.