Dua orang mantan ajudan para jenderal polisi mengisahkan perjalanan kariernya. Keduanya menceritakan tugas hingga sikap atasan.
Dikutip dari detikX, Selasa (6/9/2022), T menceritakan rasa bangganya saat lolos seleksi aide-de-camp (ADC). Sebagai polisi rendahan saat itu, T punya kesempatan dekat dengan perwira tinggi (Pati) Polri. Posisi yang tak bisa dirasakan teman-teman lain sepangkatannya.
Sebagai ajudan seorang komisaris jenderal, T banyak membantu tugas-tugas kedinasan atasannya. Termasuk berkomunikasi dengan banyak orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
T bercerita soal komunikasi yang paling berkesan buatnya. Dia bertugas untuk 'memerintah' seorang komisaris besar polisi yang jadi bawahan bosnya.
Baca juga: Pembunuhan Yosua dan Rancunya Tugas Ajudan |
"Saya ke ruangannya dan bilang bahwa dia dipanggil oleh Bapak," kata T cengengesan.
"Dia kemudian langsung lari ke ruangan Bapak," lanjut dia.
Setelah beberapa tahun kemudian, setelah bosnya pensiun dan T kembali ke kesatuannya di Jawa Timur dengan pangkat perwira pertama, si kombes berpangkat jenderal. Jenderal tersebut menjadi atasan T dan masih ingat dengan kelakuannya saat masih di Jakarta.
Pada suatu pertemuan yang dihadiri banyak polisi, jenderal itu berpidato dan berseloroh tentang T.
"Kau ini dulu sering nyuruh-nyuruh saya waktu di Jakarta," kata si jenderal sambil menunjuk-nunjuk T.
T mengaku beruntung karena bosnya orang yang baik, profesional dan tidak pernah mencampuradukkan urusan dinas dengan pribadi. Namun menurutnya tidak semua ajudan memiliki keberuntungan yang sama.
T mengatakan ada banyak ADC yang diperlakukan semena-mena. Ada yang disuruh menyapu, mencuci pakaian, menyetrika, dan lain-lain.
"Kalau berbuat salah, bahkan ada yang sampai ditempeleng," katanya.
"Ini bukan hanya yang jadi ADC pati Polri. Kan, ada juga polisi jadi ADC pejabat negara," tutur T.
Hal senada disampaikan eks ajudan jenderal polisi lainnya, F. F yang kini sudah menjadi perwira menengah mengatakan ada banyak ADC yang diperintah bosnya bukan untuk tugas kedinasan melainkan untuk urusan-urusan keluarga. Mulai dari menyetir mobil dan mengamankan rumah.
Namun F beruntung memiliki atasan yang bisa membedakan apa tugas polisi yang menjadi ajudan, dan apa tugas yang seharusnya dikerjakan oleh sipil.
Selanjutnya: Ferdy Sambo dan 8 ajudannya...
Karena itu atasan F membayar jasa sopir dan satpam yang bukan dari Polri.
"Tugas ajudan itu sebenarnya, ya, melekat dengan urusan dinas saja. Kalau urusan pribadi, ya, kita tidak ikut campur," kata F.
Menurut F, memang tidak ada aturan rigid mengenai tugas-tugas ajudan. Karena itu, pengalaman setiap ajudan berbeda-beda.
"Semua tergantung bosnya," kata dia.
Soal Ferdy Sambo dan Para Ajudannya
Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Ito Sumardi mengaku heran dengan Ferdy Sambo yang bisa memiliki delapan ajudan. Menurutnya, ini menunjukkan ada masalah dalam manajemen sumber daya manusia Polri.
Pada masa dirinya masih aktif sebagai polisi, ajudan perwira tinggi hanya berjumlah dua orang.
"Kalau sampai delapan (seperti Sambo), Kapolri saja kalah banyak," kata Ito pekan lalu.
Apalagi untuk orang seperti Ferdy Sambo, Ito memandangnya masih terlalu muda untuk menjadi jenderal bintang dua dan menjabat Kadiv Propam.
"Sambo itu masih terlalu muda. Usia 46 sudah mendapat bintang dua. Saya usia 46 saja masih kombes," katanya.
Sambo saat ini berusia 49 tahun. Dia menjabat Kadiv Propam dengan bintang dua di pundaknya pada 2020. Dia hanya merasakan satu tahun sebagai jenderal bintang satu pada tahun sebelumnya, saat dia menjadi Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
"Sambo itu, kan, dari direktur langsung loncat menjadi polisinya polisi, Kadiv Propam," kata Ito.
Menurut Ito, Polri terlalu cepat mempromosikan Sambo. Padahal ada banyak orang yang lebih senior dan lebih berprestasi daripada Sambo.
"Menurut saya, seorang pimpinan itu memerlukan maturity, kedewasaan. Kalau terlalu cepat diorbitkan dan memiliki kekuasaan yang sangat besar, dia akan abuse of power," tuturnya.