Dalam tradisi masyarakat Jawa ada berbagai ibadah yang kerap dilakukan oleh masyarakat dengan maksud tertentu, salah satunya adalah puasa mutih. Seperti namanya, puasa mutih umumnya dilakukan dengan menahan untuk tidak makan maupun minum selain menyantap nasi putih serta air putih.
Tradisi melakukan puasa mutih bukanlah hal yang baru bagi sebagian kalangan masyarakat di Jawa. Bahkan beberapa masyarakat melakukan puasa mutih untuk tujuan tertentu. Pengerjaannya juga dilakukan pada momen-momen khusus, sehingga puasa mutih menjadi bagian yang tak terlepas dalam kehidupan sebagian masyarakat yang tinggal di Jawa.
Lantas, sebenarnya puasa mutih itu apa? Nah, buat kamu yang dibuat penasaran dengan tradisi yang satu ini, terdapat ulasan informasi yang akan diuraikan nantinya secara rinci. Simak baik-baik penjelasannya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin Utamanya:
- Puasa mutih adalah tradisi laku prihatin masyarakat Jawa dengan menahan makan dan minum selain nasi putih dan air putih, dilakukan dari fajar hingga Maghrib atau selama 24 jam penuh bahkan lebih.
- Makna puasa mutih bersifat spiritual dan simbolik, seperti menahan hawa nafsu, menyucikan batin, memperbaiki moral, serta memohon kelancaran hajat tertentu.
- Dalam Islam, puasa mutih tidak memiliki dalil khusus, sehingga tidak dianjurkan sebagai ibadah tersendiri, namun dapat diniatkan sebagai puasa sunnah mutlak selama tidak melanggar syariat.
Apa Itu Puasa Mutih?
Seperti yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, puasa mutih umumnya dilakukan oleh seseorang dengan menahan agar tidak menyantap makanan atau minuman, selain nasi putih dan air putih. Menukil dari buku 'Siapa Berpuasa Dimudahkan Urusannya' oleh Khalifa Zain Nasrullah, puasa mutih adalah sebuah ibadah yang kerap dilakukan oleh kalangan masyarakat Jawa.
Setidaknya ada dua jenis puasa mutih yang biasanya dilakukan sebagian kalangan masyarakat tertentu. Kedua jenis puasa mutih yang dimaksud adalah pertama berupa puasa mutih dengan menahan diri dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari dan yang kedua puasa mutih yang bersambung dalam satu hari penuh atau 24 jam.
Pada pengerjaan puasa mutih sejak terbit fajar sampai matahari tenggelam, orang yang melakukannya hanya akan berbuka dengan nasi putih dan air putih saja. Lain halnya dengan puasa mutih seharian penuh, orang yang mengerjakannya bakal menahan lapar dan haus selama 24 jam penuh bahkan hingga 2 hari berturut-turut.
Kendati begitu, dua jenis puasa mutih tadi memiliki kesamaan, yaitu berbuka dengan nasi putih dan air putih saja. Hal serupa juga disebutkan dalam buku 'Laku Prihatin: Seni Hidup Bahagia Orang Jawa' oleh Iman Budhi Santosa, saat mengerjakan puasa mutih seseorang tidak boleh makan apa-apa selain nasi putih.
Bahkan sebagian orang turut menghindari santapan sayur, garam, kopi, atau teh. Inilah yang membuat puasa mutih cukup berat untuk dilakukan. Sebab, puasa mutih termasuk laku prihatin seseorang. Tak ayal, puasa mutih hanya dilakukan pada saat-saat tertentu.
Makna Puasa Mutih dalam Tradisi Jawa
Masih mengacu dari buku yang sama, puasa mutih dilakukan bukan tanpa alasan. Beberapa orang mengerjakannya sebagai wujud laku prihatin. Istilah laku prihatin merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh seseorang sebagai bentuk dari menahan diri. Tujuannya bisa berbagai macam, mulai dari memperbaiki aspek spiritual, mengendalikan nafsu dunia, menyucikan diri, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, ada beberapa makna puasa mutih yang dikenal juga sebagai bagian dari manfaat dikerjakannya ibadah yang satu ini. Berikut beberapa di antaranya:
- Mencapai kondisi putih atau bersih yang tidak lagi dipenuhi dosa, kesalahan, hingga pengaruh nafsu duniawi.
- Memperbaiki kualitas batin, moral, akhlak, dan perilaku.
- Mengharapkan agar Tuhan mengabulkan permohonannya.
- Membangun landasan batin untuk dapat kesaktian, kekuatan, atau ajian tertentu.
Kemudian di dalam penelitian berjudul 'Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Puasa Pra-Akad Nikah di Kalangan Masyarakat Suku Jawa Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus Desa Bina Baru Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar)' oleh Wahyulia Rizki Khusnul Rohimma, puasa mutih sering kali dilakukan oleh kedua mempelai sebelum akad nikah berlangsung.
Makna puasa mutih sebelum akad nikah dimaksudkan agar tujuan atau hajat besar yang akan digelar diharapkan bisa diberikan kemudahan sekaligus kelancaran. Tak ayal, beberapa pasangan calon pengantin mungkin akan mengerjakannya sebelum akad dilangsungkan.
Cara Melaksanakan Puasa Mutih
Untuk pengerjaan puasa mutih, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ada dua jenis berbeda yang umumnya dilakukan oleh kalangan masyarakat tertentu. Ada yang mengerjakannya mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi, terdapat juga yang melakukannya selama 24 jam atau bahkan lebih.
Masih mengacu dari buku yang sama, yaitu 'Laku Prihatin: Seni Hidup Bahagia Orang Jawa', puasa mutih dilakukan dalam hitungan jumlah hari yang ganjil. Misalnya saja 1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari, dan masih banyak lagi jumlah ganjil lainnya.
Khusus pengerjaan yang dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, buka puasa dilakukan pada waktu Maghrib. Waktu sahur juga dikerjakan sebelum adzan Subuh berkumandang. Hal yang membedakannya dengan puasa yang selama ini dikerjakan oleh kaum muslim adalah puasa mutih diharuskan makan nasi putih dan minum air putih.
Hukum Puasa Mutih dalam Islam
Setelah mencermati puasa mutih secara rinci, tidak sedikit orang mungkin dibuat penasaran dengan hukum pengerjaannya di dalam Islam. Terlebih lagi puasa menjadi sebuah ibadah yang begitu bermakna dan menyimpan banyak keutamaan.
Sejatinya, belum ada riwayat hadits atau dalil di dalam Al-Quran yang menyebut secara gamblang puasa mutih. Hal inilah yang membuat hukum puasa mutih bisa dibilang masih cukup diperdebatkan hingga saat ini. Seperti halnya dijelaskan dalam buku 'Rahasia dan Keutamaan Puasa Sunah' karya Abdul Wahid, yang menyebut puasa mutih bukanlah sebuah ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Kendati banyak dijumpai masyarakat mengerjakan ibadah ini, sebenarnya tidak ada dasar hukum dalam Islam yang menganjurkannya. Oleh sebab itulah, kaum muslim hendaknya hanya mengerjakan puasa wajib maupun sunnah yang benar-benar jelas dasar hukumnya dalam Islam.
Lebih lanjut, melalui buku karya PISS KTB dan TIM Dakwah Pesantren yang bertajuk 'Tanya Jawab Islam: Piss KTB', puasa yang dilakukan sesuai dengan hukum syara' yang tidak memiliki tuntunan dalam pengerjaannya, maka bisa termasuk dalam puasa mutlak. Oleh karenanya, puasa yang dikerjakan bisa diniatkan sebagai puasa mutlak.
Hal tersebut juga berlaku bagi puasa mutih yang tidak memiliki hukum syara'. Dengan begitu, saat puasa mutih dilakukan tanpa melibatkan hal-hal yang dilarang oleh agama, maka bisa diniatkan sebagai puasa mutlak. Apa itu puasa mutlak? Buku 'Kitab Fikih Sehari-hari: 365 Pertanyaan Seputar Fikih untuk Semua Permasalahan dalam Keseharian' oleh AR Shohibul Ulum menyebut puasa mutlak adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan puasa wajib maupun sunnah lainnya.
Sebagaimana disampaikan oleh Syaikul Islam al-Qadli Zaynuddin Abu Yahya Zakariya dalam Kitab Atsa al-Mathalib Syarh Raudlatut Thalib bahwa:
"Dalam puasa sunah mutlak (yang tidak terkait dengan puasa wajib dan sunah), cara niatnya cukup dengan niat yang mutlak (umum), sebagaimana niat pada shalat sunah mutlak. Meskipun letak niatnya sebelum waktu Zuhur, dan tidak boleh setelah Zuhur. Sebab, Rasulullah suatu hari berkata pada Aisyah: 'Apa ada sarapan pagi?'
Aisyah menjawab: 'Tidak ada.' Nabi berkata: 'Kalau begitu saya puasa.' Aisyah menyebutkan: Suatu hari yang lain Nabi bertanya pada saya: 'Apa ada sarapan pagi?' Saya menjawab: 'Ada.' Nabi berkata: 'Kalau begitu saya tidak puasa, meski saya perkirakan berpuasa'."
Singkatnya, puasa mutlak bisa dipahami sebagai puasa yang tidak terikat oleh waktu maupun sebab tertentu. Kendati begitu, puasa mutih mungkin masih memicu perbedaan pandangan, sehingga dapat dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Wallahu a'lam.
Itulah tadi penjelasan mengenai puasa mutih itu apa beserta makna, cara melaksanakan, dan hukumnya dalam Islam. Semoga menjawab, ya.
(sto/dil)











































