Gelar Panembahan sering terdengar dalam kisah Mataram dan tokoh-tokoh penting Jawa. Namun, tidak semua orang benar-benar memahami makna yang dikandungnya. Istilah ini punya lapisan sejarah dan spiritual yang dalam, sehingga kedudukannya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kekuasaan Jawa dari masa ke masa.
Gelar panembahan ternyata pernah dipakai para pendiri Mataram sebelum gelar susuhunan dan sultan menjadi populer. Bahkan tokoh-tokoh spiritual seperti Panembahan Giri dan Kyai Kajoran juga menyandang gelar ini karena wibawa batin mereka. Di titik inilah terlihat bahwa panembahan punya dua wajah, yaitu gelar bangsawan tinggi sekaligus gelar kehormatan spiritual.
Untuk memahami arti gelar panembahan dan bagaimana gelar ini berkembang, siapa saja yang pernah memakainya, serta apa bedanya dengan susuhunan dan sultan, mari telusuri lebih jauh dunia simbolik kekuasaan Jawa lewat penjelasan lengkap berikut, detikers!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Panembahan bermakna 'yang disembah', digunakan dalam konteks politik dan spiritual Jawa.
- Gelar ini dipakai penguasa awal Mataram sekaligus tokoh-tokoh berwibawa dalam dunia keagamaan.
- Panembahan memiliki kedudukan berbeda dari susuhunan dan sultan, yang berkembang menjadi gelar raja dengan legitimasi politik dan religius lebih kuat.
Apa Arti Gelar Panembahan dalam Kerajaan Jawa?
Gelar Panembahan memiliki makna dan sejarah yang panjang dalam tradisi politik dan spiritual Jawa. Dalam buku Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta karya Dr Ni'matul Huda, dijelaskan gelar ini berasal dari kata sembah, sehingga panembahan berarti 'yang disembah' atau 'yang menerima sembah'.
Dalam Babad Tanah Jawi yang disunting oleh JH Meinsma dan dikutip kembali oleh G Moedjanto, disebutkan Senopati (pendiri Mataram) awalnya memakai gelar panembahan. Hal ini menunjukkan gelar tersebut pernah digunakan oleh penguasa awal kerajaan sebelum gelar susuhunan dan sultan dipakai secara resmi.
Bahkan, pengganti Senopati seperti Raden Mas Jolang juga bergelar Panembahan Krapyak. Sultan Agung pun masih memakai gelar Panembahan hingga tahun 1624 sebelum kemudian beralih menjadi susuhunan dan akhirnya sultan.
Gelar panembahan juga memiliki dimensi spiritual. Dikutip dari buku Jaringan Ulama Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia karya Edy Sutrisno dan Sukar, gelar ini diberikan kepada ulama yang memiliki keunggulan spiritual atau telah berusia tua. Tokoh seperti Panembahan Mas Giri dan Panembahan Rama atau Kyai Kajoran menggunakan gelar ini sebagai tanda penghormatan atas kedalaman spiritual mereka.
Artinya, gelar panembahan tidak hanya berkaitan dengan politik kerajaan tetapi juga dengan otoritas rohani. Penjelasan serupa muncul dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia oleh Jajat Burhanuddin. Ia menjelaskan bahwa gelar panembahan mengandung makna spiritual yang kuat. Pemilik gelar dianggap memiliki kedudukan terhormat dalam kehidupan keagamaan dan sosial.
Senapati memakai gelar Panembahan untuk menyejajarkan diri dengan pemimpin spiritual seperti keturunan Sunan Giri. Gelar itu menunjukkan status tinggi seseorang yang dihormati, baik karena posisi politik maupun karena kedalaman spiritualnya.
Dari sumber-sumber tersebut, tampak jelas bahwa gelar panembahan memiliki dua fungsi utama dalam tradisi Jawa, yaitu:
- Sebagai gelar kebangsawanan tinggi, terutama pada masa awal Mataram, sebelum gelar susuhunan dan sultan menjadi populer; dan
- Sebagai gelar kehormatan spiritual, yang diberikan kepada tokoh berwibawa, baik ulama maupun bangsawan yang memiliki keunggulan batin.
Perbedaan Panembahan, Susuhunan, dan Sultan
Setelah memahami arti gelar Panembahan, lantas apakah perbedaan antara gelar tersebut dengan Susuhunan dan Sultan? Yuk, simak penjelasan lengkap berikut!
Panembahan
Menurut Dr Ni'matul Huda, gelar Panembahan berasal dari kata sembah, sehingga bermakna 'yang disembah' atau 'yang menerima sembah'. Dalam sejarah awal Mataram, gelar ini dipakai oleh penguasa pertama, Senapati, yang dalam Babad Tanah Djawi disebut masyarakat sebagai Panembahan Senapati meski secara resmi ia juga disebut Sultan. Penggunaan kata 'kemawon' dalam naskah babad menunjukkan bahwa gelar ini dipandang berada sedikit di bawah gelar raja yang lebih tinggi seperti Susuhunan dan Sultan.
Dalam konteks spiritual, buku Jaringan Ulama Pesantren Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia karya Edy Sutrisno menjelaskan bahwa gelar Panembahan sering disandang tokoh yang punya kedalaman spiritual, berusia tua, atau memiliki wibawa keagamaan yang kuat. Jajat Burhanuddin juga menegaskan gelar ini menandakan otoritas religius yang tinggi, bahkan pernah disandang Sunan Giri dan tokoh-tokoh spiritual lain.
Susuhunan
Dr Ni'matul Huda menjelaskan gelar Susuhunan berasal dari kata suhun atau suwun yang berarti 'dipundi' atau "ditaruh di atas kepala". Secara makna, Susuhunan mengandung penghormatan setara dengan Panembahan, tetapi penggunaannya berkembang menjadi gelar yang menunjukkan kedudukan raja yang berkuasa penuh. Dalam penjelasan Jajat Burhanuddin, gelar ini bermakna 'orang yang disuhuni', yaitu sosok yang paling dihormati dan mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Sejak abad ke-17, gelar Susuhunan dipakai di wilayah Solo. Kepala kerajaan Solo hingga kini menggunakan gelar Susuhunan atau Sunan, yang menunjukkan posisi tertinggi dalam hierarki kerajaan. Gelar ini juga terkait otoritas politik yang lebih kuat dibanding Panembahan.
Sultan
Gelar Sultan mulai digunakan dalam Mataram sejak era Sultan Agung, seperti dijelaskan oleh Dr Ni'matul Huda. Pada tahun 1641, gelar Sultan disahkan setelah Mataram mendapat legitimasi keagamaan dari Syarif Makkah, sebagaimana dicatat dalam kajian De Graaf dan Pigeaud yang dikutip oleh Jajat Burhanuddin.
Sultan berasal dari tradisi Islam dan bermakna raja atau penguasa, sehingga menandai hubungan langsung antara kekuasaan politik Mataram dan legitimasi keagamaan Islam. Gelar Sultan kemudian dipakai oleh penguasa Jogja.
Nah, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai gelar Panembahan dalam kerajaan Jawa. Semoga bermanfaat, detikers!
(sto/ams)











































