- Daftar Nama Paku Buwono dari Masa ke Masa Paku Buwono I (1704-1719) Paku Buwono II (1726-1749) Paku Buwono III (1749-1788) Paku Buwono IV (1788-1820) Paku Buwono V (1820-1823) Paku Buwono VI (1823-1830) Paku Buwono VII (1830-1858) Paku Buwono VIII (1859-1861) Paku Buwono IX (1861-1893) Paku Buwono X (1893-1939) Paku Buwono XI (1939-1944) Paku Buwono XII (1944-2004) Paku Buwono XIII (2004-2025)
- Daftar Nama Paku Alam dari Masa ke Masa Paku Alam I (1813-1829) Paku Alam II (1829-1858) Paku Alam III (1858-1864) Paku Alam IV (1864-1878) Paku Alam V (1878-1900) Paku Alam VI (1901-1902) Paku Alam VII (1903-1937) Paku Alam VIII (1938-1998) Paku Alam IX (1999-2015) Paku Alam X (2016-sekarang)
- Kenapa Gelarnya Beda?
Sejak masa pecahnya Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-18, Jawa melahirkan garis-garis bangsawan besar yang hingga kini masih eksis, dua di antaranya adalah Paku Buwono di Solo dan Paku Alam di Jogja. Keduanya punya sejarah panjang, gelar berbeda, tapi sama-sama menjadi simbol penting dalam kebudayaan dan politik Jawa.
Menariknya, meski sama-sama keturunan Mataram, posisi keduanya tidak setara. Paku Buwono mewarisi takhta sebagai raja besar pewaris utama Mataram, sedangkan Paku Alam berdiri sebagai adipati di bawah Kasultanan Jogja sejak 1813 berkat perjanjian dengan Inggris.
Kalau kamu penasaran bagaimana silsilah kedua dinasti ini berkembang dan kenapa gelar mereka berbeda, simak daftar lengkap nama Paku Buwono dan Paku Alam berikut ini, detikers. Setiap nama membawa cerita unik tentang kekuasaan, seni, dan pengaruh politik di masanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Gelar Paku Buwono dan Paku Alam muncul dari pecahnya Mataram Islam dan kebijakan kolonial Inggris-Belanda di Jawa.
- Paku Alam berstatus adipati di bawah Kasultanan Jogja, sedangkan Paku Buwono adalah raja besar pewaris utama Mataram di Solo.
- Kedua garis keturunan ini masih berperan aktif dalam menjaga tradisi dan budaya Jawa hingga masa modern.
Daftar Nama Paku Buwono dari Masa ke Masa
Dikutip dari buku Ensiklopedi Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa dari Wangsa Sanjaya hingga Hamengku Buwono IX tulisan Krisna Bayu Adji dan ditambah Kitab Terlengkap Sejarah Mataram tulisan Soedjipto Abimanyu, berikut ini adalah daftar nama Paku Buwono dari masa Kasunanan Kartasura hingga Surakarta (Solo).
Paku Buwono I (1704-1719)
Paku Buwono I bernama asli Raden Mas Darajat atau Pangeran Puger, adik dari Amangkurat II dan putra Amangkurat I dari Ratu Wetan. Ia merebut takhta Kartasura dari Amangkurat III dengan bantuan VOC setelah keluarganya diperlakukan kejam.
Pada masa pemerintahannya, Paku Buwono I dikenal bijaksana tetapi harus menandatangani perjanjian berat dengan VOC. Salah satunya adalah kewajiban mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun sebagai pengganti pelunasan utang perang Trunojoyo. Setelah wafat pada 1719, takhta diberikan kepada putranya, Raden Mas Suryaputra, yang bergelar Amangkurat IV.
Amangkurat IV memerintah dari 1719 hingga 1726 dan menghadapi banyak pemberontakan dari saudara-saudaranya seperti Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Arya Dipanegara. Dengan bantuan VOC, ia memenangkan Perang Suksesi Jawa II, tetapi pengaruh VOC atas Kartasura semakin kuat. Ia wafat karena diracun pada 1726, dan putranya yang masih berusia muda naik takhta sebagai Paku Buwono II.
Paku Buwono II (1726-1749)
Raden Mas Prabasuyasa atau Paku Buwono II naik takhta pada usia 15 tahun. Masa pemerintahannya penuh gejolak, termasuk pecahnya Geger Pecinan (1740-1742). Awalnya ia berpihak pada pemberontak Tionghoa yang menentang VOC, namun kemudian berbalik mendukung VOC setelah kekuatan mereka melemah.
Akibat banyaknya pemberontakan, Keraton Kartasura hancur, dan pada tahun 1745, Paku Buwono II memindahkan pusat kerajaan ke Desa Sala (Solo). Dari sinilah lahir Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Paku Buwono II dikenang sebagai raja terakhir Kartasura sekaligus raja pertama Surakarta (Solo). Ia wafat pada 1749, meninggalkan warisan besar berupa berdirinya pusat kekuasaan baru di Solo.
Paku Buwono III (1749-1788)
Raden Mas Suryadi naik takhta setelah wafatnya Paku Buwono II. Ia menjadi raja kedua Kasunanan Surakarta yang pertama kali dilantik oleh Baron von Hohendorff mewakili VOC.
Masa pemerintahannya diwarnai lanjutan Perang Suksesi Jawa III melawan Raden Mas Said dan Raden Mas Sujana. Meski kekuasaannya sempat terguncang, Paku Buwono III mampu mempertahankan takhta berkat dukungan VOC hingga wafat pada 26 September 1788.
Paku Buwono IV (1788-1820)
Takhta kemudian diwariskan kepada Raden Mas Subadya, putra Paku Buwono III. Ia dikenal dekat dengan para tokoh kejawen dan banyak menggubah karya sastra, termasuk Serat Wulangreh yang terkenal.
Namun, hubungan baiknya dengan tokoh kejawen membuat VOC curiga. Bersama Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I, mereka mengepung Keraton Surakarta pada 1790 dalam peristiwa Pakepung. Terdesak, Paku Buwono IV akhirnya menyerah dan menyerahkan tokoh-tokoh kejawen kepada VOC. Ia wafat pada 2 Oktober 1820, dan takhta diteruskan oleh putranya.
Paku Buwono V (1820-1823)
Penerusnya adalah Raden Mas Sugandi, yang bergelar Sunan Sugih. Ia dikenal sebagai raja yang kaya raya dan memiliki kesaktian luar biasa. Salah satu peninggalannya adalah keris Kyai Kaget yang ia tempa sendiri dari logam meriam Kyai Guntur Geni. Pemerintahannya berlangsung singkat karena ia wafat pada 1823, dan takhta beralih ke putranya, Raden Mas Supardan.
Paku Buwono VI (1823-1830)
Raden Mas Supardan dikenal juga sebagai Pangeran Bangun Tapa. Ketika naik takhta, ia bergelar Paku Buwono VI. Pemimpin Solo ini menolak tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. Ia mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) dan menentang Kesultanan Jogja yang pro-Belanda.
Namun, perjuangannya berakhir tragis. Pada 8 Juni 1830, ia ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Ambon. Ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 294 Tahun 1964.
Paku Buwono VII (1830-1858)
Setelah penangkapan Paku Buwono VI, tampuk pemerintahan dipegang oleh Raden Mas Malikis Solikin, putra Paku Buwono IV. Ia kemudian menggunakan gelar Paku Buwono VII. Masa pemerintahannya membawa ketenangan dan kemajuan budaya.
Ia menetapkan Angger-Angger Nagari dan menjadikan Pranata Mangsa versi Surakarta sebagai pedoman para petani. Kehidupan sastra berkembang pesat, menjadikan era ini salah satu masa keemasan kebudayaan keraton. Ia wafat pada 1858 tanpa keturunan, dan takhta berpindah kepada kakaknya.
Paku Buwono VIII (1859-1861)
Raden Mas Kusen, kakak dari Paku Buwono VII, naik takhta sebagai penerusnya. Ia hanya memerintah selama dua tahun sebelum wafat pada 1861 tanpa meninggalkan putra. Oleh karena itu, kekuasaan kemudian diwariskan kepada keponakannya.
Paku Buwono IX (1861-1893)
Raden Mas Duksino, putra dari Paku Buwono VI, menjadi raja berikutnya. Pemerintahannya berlangsung stabil dan menjadi masa transisi menuju era modern. Ia wafat pada 16 Maret 1893, dan takhta diteruskan oleh putranya, Raden Mas Malikus Kusno.
Paku Buwono X (1893-1939)
Paku Buwono X dikenal sebagai raja besar terakhir Solo. Bernama asli Raden Mas Malikus Kusno, ia membawa Kasunanan Solo menuju masa modern tanpa kehilangan identitas budaya Jawa.
Ia berhasil menjaga stabilitas politik di bawah tekanan Hindia Belanda dan mendukung pergerakan Sarekat Islam cabang Solo. Wafat pada 1 Februari 1939, ia dikenang sebagai raja yang bijak dan berwibawa.
Paku Buwono XI (1939-1944)
Penerusnya, Raden Mas Antasena yang bergelar Paku Buwono XI, memerintah di masa sulit. Bagaimana tidak, masa kepimpinannya berlangsung ketika Perang Dunia II pecah dan kekuasaan Hindia Belanda berpindah ke Jepang. Meski singkat, masa pemerintahannya menjadi periode transisi menuju era kemerdekaan Indonesia.
Paku Buwono XII (1944-2004)
Setelah wafatnya PB XI, takhta dipegang oleh Raden Mas Suryaguritna, putra dari PB XI. Di awal pemerintahannya, ia dinilai gagal memanfaatkan momentum politik Indonesia pascakemerdekaan. Hal tersebut membuat pamornya kalah dibanding Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Namun, di bidang kebudayaan, PB XII tetap disegani. Ia dikenal sebagai pelindung budaya Jawa dan tetap dihormati oleh tokoh nasional seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). PB XII wafat pada 11 Juni 2004, meninggalkan persoalan suksesi di lingkungan keraton.
Paku Buwono XIII (2004-2025)
Pascawafatnya PB XII, terjadi perebutan takhta antara KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan, dua putra mendiang raja. Konflik besar itu memecah keluarga keraton hingga akhirnya Hangabehi dinobatkan pada 10 September 2004 sebagai Sri Susuhunan Paku Buwono XIII.
Meski sempat berseteru, kedua kubu akhirnya berdamai pada 2012 melalui mediasi pemerintah dan tokoh nasional. PB XIII dikenal sebagai raja yang berupaya memulihkan wibawa keraton dan menjaga kelestarian budaya Jawa.
Ia wafat pada 2 November 2025 setelah dirawat sejak September 2025. Sepanjang dua dekade pemerintahannya, PB XIII dikenang sebagai sosok yang menegakkan keharmonisan dan martabat budaya Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Daftar Nama Paku Alam dari Masa ke Masa
Kadipaten Pakualaman berdiri pada tahun 1812 sebagai bagian dari pembagian wilayah Kesultanan Jogja. Sejak awal berdirinya, takhta Pakualaman diwariskan secara turun-temurun dan hingga kini tetap menjadi bagian penting dalam struktur pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berikut daftar penguasa Pakualaman dari masa ke masa yang dihimpun dari buku Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa tulisan Joko Darmawan serta Ensiklopedi Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa dari Wangsa Sanjaya hingga Hamengku Buwono IX tulisan Krisna Bayu Adji.
Paku Alam I (1813-1829)
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Notokusuma adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwana I dan Raden Ayu Srenggoro. Ia diangkat sebagai Adipati Paku Alam I oleh pemerintah Inggris pada 17 Maret 1813 sebagai penghargaan atas jasanya.
Selain memperoleh tanah dan tunjangan, ia juga mendapat hak memungut pajak serta memimpin wilayah Kemantren dan Karang Kemuning. Paku Alam I juga sempat menjadi wali bagi Sultan Hamengkubuwana IV. Setelah memerintah selama 16 tahun, ia wafat dan dimakamkan di Kotagede, Jogja.
Paku Alam II (1829-1858)
Raden Tumenggung (RT) Notodiningrat lahir pada 25 Juni 1786. Ia dikenal sebagai penguasa yang mencintai kesenian dan kesusastraan. Pada masa pemerintahannya, budaya istana berkembang pesat, terutama di bidang sastra Jawa klasik. Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 dan dimakamkan di Kotagede.
Paku Alam III (1858-1864)
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Sasraningrat adalah putra Paku Alam II. Rakyat mengenalnya sebagai raja yang produktif dalam karya sastra. Beberapa karyanya antara lain Serat Darma Wirayat, Serat Ambiya Yusup, dan Serat Piwulang. Ia juga merupakan kakek dari tokoh nasional Ki Hajar Dewantara. Paku Alam III wafat pada 17 Oktober 1864 dan dimakamkan di Kotagede.
Paku Alam IV (1864-1878)
Raden Mas (RM) Nataningrat, yang juga putra Paku Alam II dan adik dari Paku Alam III, naik takhta pada usia muda. Namun, masa pemerintahannya mengalami kemunduran karena tekanan politik dan ekonomi. Berdasarkan perjanjian tahun 1870, kekuatan militer Pakualaman dikurangi hanya menjadi setengah batalion infanteri dan satu kompi kavaleri. Ia wafat pada 24 September 1878.
Paku Alam V (1878-1900)
Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryodilogo menghadapi tantangan berat selama masa pemerintahannya. Ia harus menanggung utang pendahulunya sekaligus menjaga ketertiban di wilayahnya. Paku Alam V wafat pada 6 November 1900 dan dimakamkan di Girigondo, Kulon Progo.
Paku Alam VI (1901-1902)
KPH Notokusumo, putra Paku Alam V, hanya memerintah singkat karena kondisi kesehatannya. Ia sempat mendapat gelar Kolonel Tituler dari pemerintah Hindia Belanda. Wafat pada 9 Juni 1902 dan dimakamkan di Girigondo.
Paku Alam VII (1903-1937)
BRMH Surarjo atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Suryodilogo dikenal sebagai raja yang membawa reformasi dalam pemerintahan Pakualaman. Ia menerbitkan risksblad atau lembaran negara, memperhatikan seni tari dan wayang wong, serta mengembangkan pendidikan. Ia wafat pada 16 Februari 1937.
Paku Alam VIII (1938-1998)
BRMH Sularso Kunto Suratno yang bergelar Paku Alam VIII adalah tokoh penting yang berperan dalam sejarah Indonesia modern. Bersama Sultan Hamengkubuwana IX, ia mengirim kawat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta pada 19 Agustus 1945 untuk menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Pada 5 September 1945, ia mengumumkan bergabungnya Kadipaten Pakualaman ke Republik Indonesia. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi Gubernur DIY setelah wafatnya Sultan HB IX. Paku Alam VIII wafat pada tahun 1998.
Paku Alam IX (1999-2015)
Bendoro Raden Mas Haryo Ambarkusumo yang lahir pada 7 Mei 1938, dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IX pada 26 Mei 1999. Ia dikenal dekat dengan rakyat dan pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY selama tiga periode (2003-2018).
Meski sempat muncul polemik penobatan tandingan, situasi kembali tenang hingga wafatnya Paku Alam IX pada 21 November 2015. Ia dimakamkan di Astana Girigondo, Kulon Progo.
Paku Alam X (2016-sekarang)
Bendoro Raden Mas Wijoseno Hario Bimo, putra tertua Paku Alam IX, lahir pada 15 Desember 1962. Ia dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam X pada 7 Januari 2016.
Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Biro di Pemda DIY dan dikenal aktif dalam kegiatan sosial serta kebudayaan. Di bawah kepemimpinannya, Pakualaman terus berperan menjaga tradisi sekaligus mendukung pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kenapa Gelarnya Beda?
Berdasarkan penjelasan pada buku Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX tulisan A Kardiyat Wiharyanto serta artikel Sistem Pemerintahan Paku Alam V di Masa Penjajahan Hindia Belanda pada Tahun 1878-1900, perbedaan gelar Paku Alam dan Paku Buwono berakar dari sejarah panjang pecahnya Kerajaan Mataram Islam dan peran kolonial Eropa yang ikut membentuk sistem politik di Jawa.
Awalnya, Kerajaan Mataram Islam berdiri pada 1586 oleh Panembahan Senopati dengan pusat pemerintahan di Kota Gede, Jogja. Di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), Mataram mencapai puncak kejayaan, bahkan berani menentang VOC di Batavia.
Namun setelah wafatnya Sultan Agung, raja-raja penerusnya seperti Amangkurat I, Amangkurat II, hingga Paku Buwono II, semakin bergantung pada Belanda. Akibatnya, Mataram melemah dan akhirnya pecah.
Pada masa Paku Buwono III, perpecahan ini dilegalkan melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755. Mataram kemudian terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta (Jogja) yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi bergelar Hamengkubuwono I, dan Kasunanan Surakarta (Solo) di bawah Paku Buwono III. Dari sinilah gelar Paku Buwono mulai dipakai secara turun-temurun di Surakarta sebagai gelar raja besar pewaris utama Mataram.
Beberapa puluh tahun kemudian, pada masa pemerintahan Inggris di Jawa, berdirilah Kadipaten Pakualaman. Berdirinya kadipaten ini ditandai oleh kontrak politik antara Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles dan GPH Notokusumo (Paku Alam I) pada 17 Maret 1813.
Kadipaten ini berada di dalam wilayah Kasultanan Jogja, bukan kerajaan besar yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, penguasanya tidak memakai gelar 'Sunan' seperti di Solo, melainkan 'Adipati', yang berarti penguasa wilayah bawahan atau setingkat kadipaten.
Sejak saat itu, gelar resmi penguasa Pakualaman adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam, sedangkan gelar raja di Solo tetap Sri Susuhunan Paku Buwono. Perbedaan ini bukan sekadar soal nama, tetapi mencerminkan perbedaan tingkat kekuasaan dan status politik.
Paku Buwono menjadi simbol kedaulatan raja besar pewaris Mataram di Solo. Sementara Paku Alam menandakan adipati merdeka di bawah Kasultanan Jogja yang terbentuk karena kebijakan kolonial Inggris dan Belanda untuk memecah dan mengontrol kekuasaan lokal di Jawa.
Mengenal sejarah Paku Alam dan Paku Buwono membuat kita memahami perjalanan politik dan budaya Jawa yang membentuk Jogja dan Solo seperti sekarang. Kisah dua trah ini adalah cermin keagungan dan keteguhan tradisi yang tetap hidup di tengah zaman modern. Semoga bermanfaat!
(sto/dil)











































