Sosok Paku Buwono XIII, Raja Keraton Kasunanan Solo yang Wafat Pagi Ini

Sosok Paku Buwono XIII, Raja Keraton Kasunanan Solo yang Wafat Pagi Ini

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Minggu, 02 Nov 2025 10:21 WIB
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta menunggu masuk ke dalam keraton untuk mengikuti acara Tingalan Jumenengan SISKS Pakoe Boewono (PB) XIII di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Jawa Tengah, Selasa (6/2/2024). Tingalan Dalem Jumenengan atau peringatan kenaikan tahta raja ke-20 SISKS Pakoe Boewono (PB) XIII tersebut ditandai dengan tarian sakral Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan setahun sekali. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nym.
Paku Buwono XIII. Foto: ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA
Solo -

Kabar duka datang dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Kasunanan Solo. Sri Susuhunan Paku Buwono XIII dikabarkan wafat pada Minggu pagi, 2 November 2025. Informasi tersebut dikonfirmasi langsung oleh kuasa hukumnya, KPAA Ferry Firman Nurwahyu Pradotodiningrat, yang menyampaikan bahwa sang raja meninggal dunia setelah cukup lama menjalani perawatan di rumah sakit sejak 20 September lalu.

Lahir dengan nama KGPH Hangabehi, PB XIII dikenal sebagai raja yang berupaya memulihkan wibawa keraton di tengah konflik suksesi pasca wafatnya PB XII. Ia berhasil menyatukan kembali dua kubu keluarga besar Mataram pada 2012 dan menegakkan kembali marwah budaya Kasunanan Solo.

Mari kita mengenang kembali sosok Paku Buwono XIII dengan menyimak penjelasan yang dihimpun dari buku Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa oleh Joko Darmawan dan Takhta Raja-raja Jawa oleh Dwi Lestari berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

PB XIII wafat pada 2 November 2025 setelah dirawat sejak September.
Ia berhasil menyatukan keraton yang sempat terpecah akibat konflik suksesi.
Sosok PB XIII dikenang sebagai raja yang menjaga tradisi dan keharmonisan budaya Jawa.

ADVERTISEMENT

Awal Perjalanan Hidup dan Latar Keluarga

Sri Susuhunan Paku Buwono XIII lahir di Solo pada 28 Juni 1948 dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi. Ia merupakan putra tertua dari Paku Buwono XII, raja Keraton Solo yang memerintah sebelum dirinya.

PB XII sendiri memiliki enam istri dan 35 orang anak, sehingga persoalan suksesi di lingkungan keraton menjadi hal yang rumit. Sejak kecil, Hangabehi tumbuh dalam lingkungan istana yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa dan tata krama kebangsawanan.

Sebelum naik takhta, ia dikenal memiliki kedekatan dengan tradisi dan urusan keraton. Perannya di dalam keluarga kerajaan cukup penting karena statusnya sebagai putra sulung membuatnya dipandang sebagai penerus alami takhta Kasunanan Solo. Namun, situasi berubah setelah wafatnya sang ayah pada 11 Juni 2004. PB XII dimakamkan di Imogiri, Jogja, di samping ayahandanya, Paku Buwono XI.

Konflik Suksesi di Keraton Surakarta

Setelah PB XII wafat, Keraton Solo dilanda perpecahan besar di antara para keturunannya. Dua tokoh kuat muncul sebagai calon penerus takhta, yaitu KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tejowulan.

Dalam rapat Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII pada 10 Juli 2004, keluarga besar menetapkan Hangabehi sebagai penerus sah, dengan rencana penobatan pada 10 September 2004. Namun, tak lama berselang, sebagian keluarga lain justru menobatkan Tejowulan sebagai raja pada 31 Agustus 2004 di Sasana Pumama, Solo.

Perselisihan itu mencapai puncaknya ketika Tejowulan bersama para pendukungnya mendobrak pintu keraton dan menyerbu kompleks istana pada awal September 2004. Kejadian ini menyebabkan sejumlah abdi dalem dan bangsawan mengalami luka-luka. Peristiwa tersebut menjadi salah satu konflik terbesar dalam sejarah modern keraton Solo, mengingat kedua pihak sama-sama mengklaim legitimasi atas gelar Sri Susuhunan Paku Buwono XIII.

Meski terjadi kericuhan, pihak pendukung Hangabehi tetap melaksanakan penobatan pada 10 September 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil Lor. Acara tersebut dihadiri oleh para bangsawan, cucu PB XII, duta besar, serta utusan kerajaan dari berbagai daerah. Tiga sesepuh keraton, yaitu Prof. KGPH Haryo Mataram SH, BKPH Prabuwincto, dan GRAy Borodiningrat, turut memberikan restu, menegaskan keabsahan Hangabehi sebagai raja baru Kasunanan Solo.

Masa Pemerintahan dan Upaya Rekonsiliasi

Paku Buwono XIII memimpin keraton di masa yang penuh tantangan. Selain menjaga tradisi dan kegiatan budaya, ia harus menghadapi dampak panjang dari konflik internal yang membelah keluarga besar keraton. Meski demikian, PB XIII tetap berupaya menjaga wibawa dan kelestarian adat istana.

Pada 18-19 Juli 2009, keraton menggelar upacara perayaan jumenengan (kenaikan takhta) PB XIII yang disertai penampilan Tari Bedhaya Ketawang, tari sakral yang hanya dipentaskan untuk raja yang bertahta. Upacara itu menjadi momen penting karena dihadiri juga oleh Tejowulan, yang kala itu masih berselisih dengan PB XIII.

Konflik berkepanjangan akhirnya berakhir pada tahun 2012 setelah melalui mediasi antara DPR RI, Pemerintah Kota Solo di bawah kepemimpinan Joko Widodo, dan pihak keluarga. Dalam pertemuan tersebut, Tejowulan secara resmi mengakui Hangabehi sebagai Paku Buwono XIII yang sah.

Sebagai bentuk rekonsiliasi, Tejowulan diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung dan dipercaya sebagai Mahapatih keraton. Kesepakatan ini menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan dan menjadi titik balik bagi pemulihan wibawa Kasunanan Solo Hadiningrat.

Warisan dan Akhir Perjalanan

Di bawah kepemimpinan PB XIII, Keraton Solo terus berupaya menegakkan nilai budaya Jawa dan menjaga keberlangsungan tradisi, termasuk penyelenggaraan upacara adat, pelestarian tari klasik, serta pembinaan abdi dalem. Ia dikenal bersahaja dan berupaya mempertemukan berbagai pihak yang sempat terpecah akibat konflik internal.

Wafatnya Paku Buwono XIII pada 2 November 2025 menjadi kehilangan besar bagi keluarga besar keraton dan masyarakat Solo. Selama dua dekade pemerintahannya, beliau dikenang sebagai sosok yang berjuang untuk menjaga martabat keraton di tengah modernisasi dan dinamika politik keluarga.

PB XIII meninggalkan warisan penting dalam sejarah trah Mataram, yakni semangat menjaga harmoni dan keutuhan budaya Jawa. Seperti halnya para leluhur Mataram sebelumnya, beliau menutup perjalanan hidupnya dengan meninggalkan pesan tentang pentingnya persaudaraan dan perdamaian di tengah perbedaan.

Demikian informasi lengkap mengenai sosok Paku Buwono XIII yang wafat pagi ini. Semoga bermanfaat!




(par/par)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads