Kampung Bang Inggris di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah, rupanya menyimpan sejarah panjang sejak masa pendudukan Inggris di Jawa pada awal 1800-an.
Di balik deretan toko elektronik dan gang sempit di Jalan MT Haryono, berdiri gapura bertuliskan 'Bang Inggris RT 01 RW 08'. Sekilas tak ada yang istimewa, hanya lorong kecil menuju perkampungan padat.
Tampak beberapa warga tengah beraktivitas di depan rumah. Ada yang menjahit, mengobrol, menggendong cucu. Kehangatan terasa dari interaksi warga yang ramah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu namanya 'Kebon Inggris, dulu sungainya itu kayak 'dadah' atau lahan, dulu pas perang tentara Inggris sembunyi di situ," kata salah satu warga, Nurul Hidayati (55) kepada detikJateng, Jumat (10/10/2025).
"Makanya Kebon Inggris, ndak tahu kenapa namanya jadi Kampung Bang Inggris. Banyak juga yang salah-salah, nulisnya Bank Inggris," lanjutnya.
Generasi keempat dari keluarga yang turun temurun hidup di kampung itu menyebut, kawasan ini dulunya masih berupa lahan luas dan sungai bersih yang oleh warga disebut Kali Kuping.
"Dulu sungainya bersih, buat mandi juga bisa. Anak-anak kecil dulu suka main di sana. Kalau kecil saya masih lihat kebonnya. Jadi nggak ada jembatan, kalau mau menyeberang lewat sungai kecil itu," kenangnya.
"Dulu itu kayak markas, bukan markas besar, tapi untuk nongkrong tentara Inggris karena banyak pohon-pohon. Di seberangnya itu tempat sapi, makanya dinamain dadah," lanjutnya.
Namun seiring pembangunan, kali itu berubah karena dibangun lebih lebar. Rumah-rumah padat menempel rapat tanpa sela, sebagian lainnya sempat tergusur dan pindah.
"Dulu satu kampung satu keluarga. Kayak turunan kakek dan nenek. Sekarang banyak pendatang, rumah yang nggak berubah itu punya Pak RW," tuturnya.
Di antara gang-gang sempit, tampak masih berdiri rumah tua bercat biru dengan angka '1921' di dinding atasnya. Rumah itu milik Zaenuri, Ketua RW 08 Kampung Bang Inggris.
Zaenuri mengatakan, meski beberapa bagian telah direnovasi, bangunan itu tetap mempertahankan bentuk aslinya. Termasuk pola pintu tiga, ciri khas rumah lama di kampung ini.
"Dulu pintu tiga itu umum. Depan, tengah, belakang. Semua rumah sama. Jadi karakter khas rumah tua sini. Depan pintunya tiga, belakang juga pintunya tiga, nggak tahu kenapa," kata Zaenuri saat ditemui detikJateng.
![]() |
Ia menambahkan, rumah peninggalan leluhurnya dibangun oleh kakeknya sekitar 1921. Pondasinya sederhana, hanya tumpukan batu bata dan kayu jati tanpa besi.
"Jatinya masih kuat. Nggak lapuk, nggak keropos dimakan waktu," ujarnya sambil menunjuk balok kayu tua di langit-langit rumah.
Zaenuri juga bercerita tentang sorogan, bagian depan pintu yang bisa ditarik dan didorong, yang dulu digunakan warga untuk berlindung saat masa penjajahan.
"Dulu rumah-rumah punya sorogan, kayak pintu tapi bisa disorong. Kalau ada tentara lewat, pintu itu ditutup. Warga sembunyi di dalam," katanya.
Kini, Kampung Bang Inggris telah padat. Motor-motor berjejer di gang selebar dua meter. Baju-baju dijemur di depan rumah berwarna hijau dan biru cerah. Meski ruang hidup semakin sempit, ikatan kekeluargaan masih kuat.
Zaenuri juga menambahkan, rumah-rumah lama yang masih mempertahankan bentuk asli tinggal enam unit saja. Sisanya telah direnovasi mengikuti zaman.
Sementara itu, sejarawan Johanes Christiono menjelaskan, nama Bang Inggris berasal dari istilah lama 'Bon Inggris', singkatan dari Kebon Inggris, karena dulunya kawasan itu merupakan kebun bunga milik seorang Inggris kaya pada masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda (sekitar tahun 1811-1816).
"Nama aslinya Bon Inggris, dari kata kebon bunga milik orang Inggris. Tapi lama-lama berubah jadi Bang Inggris mungkin karena pelafalan," jelas Johanes.
"Ketika itu kan Inggris pernah masuk ke sini, ketika itu ada salah satu orang kaya punya tanah, kebun bunga, taman yang cukup besar di daerah situ. Cuma namanya siapa memang tidak disebutkan dalam literatur," sambungnya.
Kawasan ini dahulu bersebelahan dengan kampung tua lain seperti Bustaman, Kulitan, dan Pusporakan, semuanya bagian dari cikal bakal permukiman lama di Semarang.
"Kemungkinan kalau di kemudian hari dikuasai keluarga Tuan Tanah Tasripin ya sangat mungkin," ucapnya.
(aku/dil)