Asal-usul Mitos Orang Jawa Tidak Boleh Menikah dengan Orang Sunda

Asal-usul Mitos Orang Jawa Tidak Boleh Menikah dengan Orang Sunda

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Senin, 25 Agu 2025 11:54 WIB
Ilustrasi pengantin saat pernikahan
Ilustrasi pernikahan. Foto: Getty Images/iStockphoto/wisnu priyanggodo
Solo -

Mitos orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda masih beredar hingga kini. Sebagian orang Sunda percaya bahwa perkawinan lintas suku ini bisa membawa kesialan, hidup melarat, hingga rumah tangga yang tidak langgeng. Keyakinan ini terus diwariskan turun-temurun, meski tidak semua orang Sunda meyakininya.

Prof Dr Suwardi Endraswara dalam buku Etnologi Jawa menjelaskan, perbedaan budaya antara Jawa dan Sunda sering disebut sebagai salah satu alasannya. Bahasa Jawa banyak didominasi akhiran 'o', sedangkan bahasa Sunda lebih sering memakai 'eu' atau 'a'. Contohnya nama Parto di Jawa menjadi Parta di Sunda, atau Joko menjadi Jaka.

Orang Sunda juga memiliki ragam logat, ada yang lembut seperti di Bandung, Cianjur, dan Bogor, ada pula yang kasar seperti di Karawang, Cikarang, dan Banten. Perbedaan ini membuat orang Sunda merasa memiliki identitas yang khas, sehingga mereka tidak ingin disebut orang Jawa meski sama-sama tinggal di Pulau Jawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penasaran bagaimana asal-usul mitos orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda? Mari simak uraian lengkap yang dihimpun dari buku Sejarah Kelam Majapahit tulisan Peri Mardiono dan Hitam Putih Jawa Sunda tulisan Muhammad Mahibuddin. Mari kita simak!

ADVERTISEMENT

Asal-usul Mitos Orang Jawa Dilarang Menikah dengan Orang Sunda

Latar belakang mitos larangan pernikahan orang Jawa dan Sunda adalah peristiwa Perang Bubat. Perang ini melibatkan Kerajaan Majapahit dari Jawa dan Kerajaan Sunda. Mari simak kronologi peristiwa tersebut.

1. Rencana Pernikahan

Pada masa kejayaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk berniat menikahi putri Kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri itu terkenal sangat cantik, bahkan kabarnya Hayam Wuruk jatuh hati setelah melihat lukisan wajahnya.

Pernikahan ini sebenarnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara Majapahit dan Sunda. Hubungan keduanya memang memiliki ikatan leluhur, sehingga pernikahan dianggap sebagai jalan rekonsiliasi politik.

Namun ada satu keputusan penting. Upacara pernikahan diputuskan berlangsung di Majapahit. Keputusan ini menimbulkan keberatan di kalangan bangsawan Sunda. Dalam adat saat itu, tidak wajar pihak perempuan yang datang ke pihak laki-laki. Meski demikian, Raja Sunda Linggabuana tetap berangkat.

2. Kedatangan Rombongan Kerajaan Sunda di Majapahit

Prabu Linggabuana berangkat bersama Dyah Pitaloka, permaisuri, para pejabat, dan sejumlah prajurit pengawal. Jumlah pasukan mereka tidak banyak. Sesampainya di Majapahit, rombongan itu ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Di sinilah masalah muncul. Patih Gajah Mada melihat kesempatan untuk menyempurnakan Sumpah Palapa. Selama ini, hanya Kerajaan Sunda yang belum tunduk pada Majapahit. Maka ia mengusulkan agar kedatangan rombongan Sunda dianggap sebagai penyerahan diri.

Hayam Wuruk sebenarnya menolak usulan itu. Ia tetap menginginkan pernikahan, bukan penaklukan. Namun Gajah Mada bertindak sendiri. Ia tetap memandang Dyah Pitaloka bukan sebagai calon permaisuri, melainkan sebagai tanda tunduk Sunda kepada Majapahit.

3. Perselisihan di Bubat

Ketika utusan Gajah Mada menyampaikan tuntutan itu, rombongan Sunda terkejut. Mereka merasa dijebak. Bukannya menerima undangan pernikahan, ternyata mereka diperlakukan sebagai pihak kalah. Kata-kata kasar dan kecaman pun dilontarkan kepada Gajah Mada.

Walau dikritik, Gajah Mada tetap bersikeras. Ia lalu mengerahkan pasukan Bhayangkari untuk mengepung Pesanggrahan Bubat. Suasana menjadi mencekam. Jumlah pasukan Majapahit jauh lebih besar dibandingkan rombongan Sunda.

Prabu Linggabuana menghadapi pilihan sulit. Namun sebagai seorang ksatria, ia menolak tunduk pada tuntutan Gajah Mada. Baginya, lebih baik gugur di medan perang daripada mengakui kekalahan tanpa kehormatan.

4. Pertempuran Tragis

Pertempuran akhirnya tak terhindarkan. Pasukan Majapahit yang besar menyerbu Pesanggrahan Bubat. Mereka berhadapan dengan pasukan pengawal Sunda yang jumlahnya sedikit.

Pertempuran berlangsung tidak seimbang. Para prajurit Sunda yang tergolong kecil jumlahnya melawan gelombang pasukan Bhayangkari. Mereka berjuang dengan gagah, tetapi satu per satu mulai tumbang.

Para pejabat dan menteri Sunda yang ikut dalam rombongan juga ikut berperang. Mereka tidak hanya datang untuk urusan pernikahan, tetapi kini terpaksa mengangkat senjata demi mempertahankan kehormatan negeri. Namun keberanian itu tidak mampu menahan arus besar serangan Majapahit.

Akhirnya Prabu Linggabuana sendiri ikut gugur. Sang raja tewas di tengah medan, bersama hampir seluruh pengawal dan pejabat kerajaan Sunda. Rombongan itu habis dibantai. Tragedi ini kemudian dikenang sebagai peristiwa berdarah yang menoreh luka mendalam antara Majapahit dan Sunda.

5. Bela Pati Dyah Pitaloka

Di tengah kehancuran itu, Dyah Pitaloka menyaksikan kematian ayahnya. Ia juga melihat seluruh rombongan Sunda yang menyertainya gugur satu per satu. Kesedihan mendalam menimpa dirinya.

Sebagai putri kerajaan, ia memilih jalan bela pati. Ia bunuh diri untuk menjaga kehormatan diri dan bangsanya. Tindakan ini dipandang sebagai kewajiban bagi seorang perempuan kasta ksatria ketika para laki-lakinya telah gugur di medan perang. Dengan cara itu, ia berharap harga dirinya tetap terjaga. Bela pati juga dipandang sebagai jalan untuk menghindari kemungkinan dipermalukan, dianiaya, atau dijadikan budak oleh pasukan lawan.

Dyah Pitaloka pun wafat dengan cara itu. Aksi bela pati ini mungkin juga diikuti oleh perempuan-perempuan Sunda lainnya dalam rombongan, baik bangsawan maupun abdi memilih mati daripada menanggung aib.

Hayam Wuruk sangat berduka mendengar kematian Dyah Pitaloka. Ia menyesali tragedi itu, tetapi penyesalannya datang terlambat. Yang semula diniatkan sebagai pernikahan indah berubah menjadi pertempuran tragis. Dari sinilah babak kelam Perang Bubat diakhiri dengan darah dan kesedihan.

Dampak Perang Bubat Terhadap Hubungan Jawa-Sunda

Dari peristiwa Bubat inilah luka mendalam itu berubah menjadi jarak yang sulit dijembatani. Hubungan antara Sunda dan Majapahit tidak pernah lagi sama. Tragedi Bubat tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menanamkan permusuhan yang panjang. Dari sinilah akar mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda mulai terbentuk.

1. Dampak Langsung Setelah Perang

Tragedi Bubat tidak hanya memutus nyawa para bangsawan Sunda, tetapi juga memutus hubungan politik antara dua kerajaan besar. Hayam Wuruk memang menyesali kejadian itu. Namun penyesalan tidak mampu mengembalikan nyawa Dyah Pitaloka dan keluarganya.

Kerajaan Sunda yang tersisa kemudian dipimpin oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Dyah Pitaloka. Ia masih kecil ketika tragedi Bubat terjadi, sehingga tidak ikut dalam rombongan ke Majapahit. Dialah satu-satunya penerus keluarga kerajaan Sunda yang selamat.

Setelah dewasa, Niskalawastu naik takhta. Ia memimpin kerajaan Sunda dengan hati yang penuh luka akibat tragedi yang menimpa keluarganya. Dari sinilah kebijakan keras terhadap Majapahit mulai diberlakukan.

2. Dari Aturan Istana Menjadi Larangan Sosial

Prabu Niskalawastu Kancana memilih untuk memutus hubungan diplomatik dengan Majapahit. Ia tidak ingin lagi menjalin kedekatan dengan kerajaan yang telah membantai keluarganya. Hubungan Sunda dan Jawa pun resmi renggang.

Bukan hanya itu, ia juga menerapkan aturan khusus di dalam istananya. Aturan itu melarang adanya pernikahan antara bangsawan Sunda dengan orang Jawa. Larangan ini bertujuan menjaga martabat keluarga kerajaan, sekaligus sebagai bentuk perlawanan diam terhadap Majapahit.

Kebijakan ini kemudian meluas ke masyarakat umum. Lambat laun, aturan istana dianggap sebagai aturan adat. Banyak orang Sunda kemudian meyakini bahwa menikah dengan orang Jawa adalah hal yang tabu.

Larangan pernikahan ini terus hidup dari generasi ke generasi. Awalnya, larangan itu hanya berlaku bagi keluarga kerajaan Sunda. Namun seiring waktu, ia ditafsirkan lebih luas. Di tengah masyarakat, muncul keyakinan bahwa orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa. Keyakinan ini dianggap sebagai warisan langsung dari tragedi Bubat. Dari sinilah muncul mitos yang terus bertahan hingga kini.

Bagi sebagian orang, larangan ini dipandang sebagai simbol perlawanan. Namun bagi sebagian lainnya, ia dipandang sebagai cara menjaga harga diri keluarga. Oleh karena itulah, mitos ini begitu kuat melekat dalam kebudayaan masyarakat.

3. Sentimen Antarsuku

Selain aturan pernikahan, tragedi Bubat juga menimbulkan luka batin kolektif. Rasa permusuhan dan kecurigaan antara masyarakat Sunda dan Jawa terbentuk sejak peristiwa itu. Luka ini tidak sembuh dalam waktu singkat, bahkan terus diwariskan melalui cerita lisan dan naskah kuno.

Kidung Sunda atau Kidung Sundayana, yang ditulis di Bali, menjadi salah satu bukti betapa peristiwa ini sangat dikenang. Masyarakat Bali bahkan mengagumi keberanian keluarga Sunda yang memilih mati dengan terhormat. Hal ini semakin menegaskan bahwa tragedi Bubat bukan sekadar konflik politik, tetapi juga tragedi kehormatan.

Di Jawa sendiri, nama Gajah Mada mulai dipertanyakan. Meski ia adalah tokoh besar Majapahit, tindakannya di Bubat membuat banyak pihak meragukan kebijaksanaannya. Ia pun perlahan kehilangan pengaruh dalam pemerintahan.

4. Mitos yang Bertahan Hingga Kini

Meski zaman sudah berubah, mitos ini masih hidup di tengah masyarakat. Banyak orang tua Sunda yang tetap menolak jika anaknya menikah dengan orang Jawa. Mereka percaya larangan itu akan membawa kesialan, atau menimbulkan ketidakberkahan dalam rumah tangga.

Namun, menurut sejumlah sejarawan, larangan ini sebenarnya hanyalah tafsir dari peristiwa Bubat. Sebagian menyebutnya mitos belaka, bukan aturan adat yang sejati. Bahkan ada anggapan bahwa larangan itu dipelihara oleh penjajah untuk memecah belah bangsa Indonesia.

Meskipun demikian, dampak psikologis dari Perang Bubat memang nyata. Kenangan pahit itu telah menanamkan jarak emosional antara dua kelompok besar, Jawa dan Sunda. Dari situlah mitos larangan pernikahan ini tumbuh subur.

Jadi, itulah tadi ulasan lengkap mengenai Perang Bubat yang menjadi asal usul mitos larangan orang Jawa menikah dengan orang Sunda. Semoga bermanfaat!




(par/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads