Warga sejumlah daerah di Kabupaten Boyolali menggelar tradisi sadranan atau nyadran di bulan Syaban atau Ruwah (dalam penanggalan Jawa). Di beberapa desa, sadranan ini juga dilanjutkan saling silaturahmi seperti di hari raya Idul Fitri.
Tradisi nyadran dilaksanakan warga sejumlah daerah di Boyolali mulai pertengahan Syaban atau Ruwah. Secara bergiliran berlangsung akhir bulan jelang bulan Ramadhan. Waktu pelaksanaan ini ditentukan oleh masing-masing dukuh atau desa tersebut, berdasarkan kepercayaan mereka.
Salah satunya warga di Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Boyolali, menggelar tradisi sadranan hari ini. Mereka menggelar kenduri sadranan di makam Dukuh Mlambong, Desa Sruni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tradisi sadranan ini sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman nenek moyang dahulu. Dilaksanakan di bulan Syaban jelang bulan Ramadhan, untuk mendoakan para leluhur," kata tokoh masyarakat setempat yang juga ketua RW 04 Desa Sruni, Jaman, di sela-sela nyadran di makam Dukuh Mlambong, Sabtu (15/2/2025).
Ratusan warga dari dukuh di lingkungan RW 04 dan sebagian RW 05 mengikuti sadranan ini. Yakni, warga Dukuh Mlambong, Rejosari, Gedongsari, Tegalsari, Wonodadi, Magersari, dan Tegalsari Barat. Bahkan juga warga dari berbagai daerah lain yang memiliki leluhur yang dimakamkan di makam Dukuh Mlambong.
Sadranan diawali dengan bubak atau bersih-bersih makam, yang telah dilakukan sehari sebelumnya atau Jumat (14/2) pagi kemarin. Warga bergotong royong membersihkan rumput-rumput di makam tersebut.
Kemudian hari ini baru dilaksanakan sadranan. Ratusan warga dari berbagai dukuh itu berbondong-bondong ke makam dengan membawa aneka kue, makanan, dan lauknya yang dibawa dalam tenong atau rinjing. Diikuti laki-laki, perempuan, anak-anak, hingga orang tua. Warga juga membawa bunga mawar sebagai bunga tabur arau nyekar di makam para leluhurnya.
Kenduri sadranan diawali dengan pembacaan zikir tahlil untuk mendoakan para leluhur di malam cikal bakal. Dipimpin tokoh agama setempat.
Selanjutnya kenduri sadranan dimulai dengan pembacaan doa. Usai doa, acara berlanjut dengan makan bersama. Aneka kue dan makanan yang dibawa warga dari rumah, dibuka. Warga pun bebas mengambil makanan, tak hanya yang dibawanya, tetapi juga milik warga lainnya. Acara tradisi ini pun berlangsung khidmat dan meriah.
![]() |
Tradisi sadranan hari ini juga dilaksanakan warga di sejumlah wilayah di Kecamatan Cepogo. Antara lain di Desa Sukabumi, sebagian wilayah Desa Mliwis dan Gedangan. Bahkan, dalam sadranan ini juga digelar open house. Usai kenduri di makam, dilanjutkan saling berkunjung sehingga suasananya mirip Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Bahkan, karena ini hanya sehari maka, suasananya cukup ramai. Tak hanya dari warga sekitar, tetapi saudara, kerabat, hingga teman-temannya juga ikut silaturahmi sadranan ini.
Tokoh masyarakat Cepogo, Mawardi, mengatakan sudah sejak dulu warga setelah acara sadranan kemudian dilanjutkan silaturahmi. Yang khas dari sadranan adalah menggunakan tenong untuk membawa makanan. Mawardi menjelaskan, pada awalnya sadranan dilaksanakan di makam. Setelah membersihkan makam, warga kemudian memberikan sedekah dengan makanan di makam.
"Kenapa dibawa ke makam, karena sanak saudara yang biasanya ikut membersihkan makam dan berdoa (mendoakan lelulur) di situ, kemudian ada yang makan di situ dan ada yang mampir ke rumah. Jadi untuk saat ini sadranan itu sudah lebih banyak ke acara silaturahminya ke warga masyarakat," jelas Kepala Desa Cepogo ini.
(rih/rih)