Pementasan Laesan, salah satu kesenian rakyat asal Lasem, Rembang, Jawa Tengah, sudah mulai langka. Kesenian ini pun disebut kental dengan mistik, padahal di balik itu ada filosofi kehidupan yang mendalam.
Budayawan asal Lasem, Yon Suprayoga, menerangkan proses pementasan kesenian rakyat ini dibuka dengan nyanyian syair kuno, yang biasa disebut dengan istilah Elaelo. Yon menyebut Elaelo ini merujuk pada kalimat tauhid La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah.
"(Elaelo) Itu dinyanyikan oleh para penembang lalu diiringi dengan musik dari perpaduan suara alat musik dari potongan bambu dan jun. Baru nanti penari Laesan menari, di tengah-tengah nari itu penari akan masuk kurungan yang sebelumnya sudah dibungkusi kain berwarna putih dan dirituali," terang Yon saat diwawancarai detikJateng di kediamannya, di Desa Soditan, Lasem, Rembang, Minggu (8/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun dalam ritual Laesan ini menggunakan kembang telon dan membakar kemenyan. Kesenian ini pun termasuk langka karena hanya satu grup dalam Komunitas Laesan Lasem.
"Laesan memang mirip dengan kesenian sintren. Bedanya kalau sintren yang menari perempuan, tapi kalau Laesan orang laki-laki, dan gending-gending yang dinyanyikan juga beda. Pementasannya sendiri tidak terpaku pada momen atau hari-hari tertentu, hanya biasanya dimainkan pada malam hari," ujar Yon.
"Nggih Mas, termasuk kesenian langka. Di Lasem tidak ada grup lain selain grup Laesan yang tergabung dalam komunitas Laesan Lasem," sambungnya.
Filosofi di Balik Seni Laesan
Yon mengungkap Laesan memiliki makna hampa. Hal ini digambarkan melalui penari Laesan yang terlihat kosong seperti sedang terhipnotis. Dalam pementasan penari akan bergerak mengikuti harmoni musik serta tembang yang dilantunkan.
"Maksudnya bahwa manusia sejatinya memang kosong hampa. Segala sesuatunya tidak terlepas dari takdir Tuhan. Tergambar dari, 'La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah Pangerane Gawe Laes'," tutur seniman Laesan ini.
"Selalu disenandungkan gending-gending yang memiliki filosofi kehidupan, di antara pada gending pembukanya yang menyebut kalimat tauhid, asma Allah dan rasul. Mengingatkan bahwa dalam hal apapun kita harus selalu ingat pada Tuhan yang Maha Esa," sambungnya.
![]() |
Yon menyebut hingga kini belum ditemukan literasi spesifik tentang Laesan ini. Baik penggagas maupun kapan kesenian ini mulai berkembang masih misterius.
Menurut analisisnya yang mengacu pada berbagai petunjuk dari istilah-istilah pada syair-syair kesenian Laesan, seni ini ada kaitannya dengan peristiwa Perang Kuning di Lasem. Dari situ Yon menyimpulkan kesenian Laesan Lasem berkembang usai Perang Kuning pecah.
"Misalnya penggunaan kata kapitan di gending-gendinnya itu. Istilah kapitan sendiri itu mulai populer saat munculnya Perang Kuning atau Perang Lasem. Perang Kuning sendiri itu kan perang antara persatuan masyarakat pribumi dan Arab-Tionghoa melawan VOC, penjajah dari Belanda. Saya memastikan sejak saat itu kesenian Laesan mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat," beber Yon.
Eksistensi Laesan di Era Modern
Saat ini kesenian Laesan di Lasem masih terus dipentaskan saat sedekah bumi maupun hari jadi daerah. Eksistensinya pun tetap akan dilestarikan demi melindungi budaya khas Lasem.
"Masih tergolong lestari, sampai sekarang masih dipentaskan, meskipun tidak sering. Secara antusias juga masih banyak masyarakat yang menonton. Terakhir pentas kemarin di Alun-alun Rembang, bulan November," pungkas Yon.
(ams/ams)