Mengenal Warak Ngendog, Hewan Mitologi Simbol Persatuan Tiga Etnis di Semarang

Mengenal Warak Ngendog, Hewan Mitologi Simbol Persatuan Tiga Etnis di Semarang

Nur Umar Akashi - detikJateng
Jumat, 04 Okt 2024 15:28 WIB
Pedagang mainan Warak Ngendog di Pasar Dugderan, Kota Semarang, Kamis (7/3/2024) malam.
Ilustrasi warak ngendhog Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Solo -

Terdapat banyak hewan mitologi dalam berbagai kebudayaan, tak terkecuali di Semarang. Di Ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini, dikenal adanya warak ngendog. Apa itu? Berikut ini pembahasan ringkasnya.

Menurut informasi dari buku The Myths: Graflit oleh Muhammad Ilham Setiyawan dkk, kata 'warak' diadaptasi dari bahasa Arab yang berarti suci, sedangkan 'ngendog' adalah kata Jawa dengan makna bertelur. Bila digabung, secara filosofis, warak ngendog adalah ajakan untuk menjaga kesucian diri pada bulan Ramadhan.

Namun, sebagaimana dirujuk dalam tesis berjudul Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang oleh Supramono dari Universitas Negeri Semarang, ada beberapa pemaknaan warak ngendog lainnya. Semisal, 'warak' dalam bahasa Jawa juga bisa diartikan sebagai binatang mitos dengan tanduk di wajahnya (identik dengan badak). Atau, 'warak' yang berasal dari kata 'buraq', binatang tunggangan Nabi Muhammad SAW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain pemaknaan nama, seperti apa bentuk fisik dari warak ngendog? Apa makna filosofisnya? baca paparan ringkas mengenainya dalam uraian yang telah disiapkan detikJateng di bawah ini.

Karakteristik Fisik Warak Ngendog

Masih mengutip sumber yang sama, warak ngendog adalah gabungan dari beberapa hewan menjadi satu. Kepalanya punya bentuk naga sebagai distorsi dan stilasi gabungan ular, singa, dan kijang. Atau, ada juga yang menyebut punya kepala kilin, binatang suci di China.

ADVERTISEMENT

Berbicara mengenai kakinya, warak ngendog punya empat kaki unggas diperlengkapi dengan cakar tajam. Adapun badannya, warak ngendog memiliki badan mamalia, seperti sapi atau kambing. Terakhir, ekor warak tampak menyerupai milik singa atau sapi.

Selain punya bentuk unik dari gabungan berbagai binatang, warak ngendog juga tampak diselimuti bulu-bulu yang menempel secara terbalik. Bulu-bulu ini punya beragam warna yang mencolok mata, mulai dari merah, kuning, hingga putih terang.

Terakhir, di antara dua kaki belakang binatang mitologi ini, terletak telur. Hal ini menjelaskan alasan pemberian namanya, warak ngendog (warak yang bertelur). Dikutip dari buku Cryptozoology Indonesia oleh Dafiq Rohman, selain bentuk fisik warak ngendog di atas, ada pula versi lain, yakni berupa:

  1. Kepala naga sebagai representatif China
  2. Tubuhnya adalah kombinasi Buraq, hewan yang membawa Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha sebagai representasi Islam dan kambing untuk melambangkan Jawa.

Pun juga ada versi lainnya lagi, yakni:

  1. Kepala naga
  2. Leher unta
  3. Perut naga
  4. Kaki kambing

Makna Filosofis Warak Ngendog

Sebagai sebuah hewan mitologi yang filosofis, tiap bagian tubuh warak ngendog punya pemaknaan tersendiri. Kembali dirujuk dari buku The Myths: Graflit oleh Muhammadd Ilham Setiyawan, makna filosofisnya adalah:

  1. Kepala warak: melambangkan budaya dan etnis Jawa sebagai mayoritas masyarakat Semarang.
  2. Leher warak: layaknya unta sebagai binatang dari Saudi Arabia yang punya ketahanan tubuh luar biasa. Unta diposisikan di bagian leher karena leher adalah bagian penting sebagai penanda kehidupan makhluk hidup.
  3. Perut warak: diibaratkan seperti perut naga atau liong, hewan mitologi China yang dianggap sebagai penjaga mustika. Mustika adalah lambang kemuliaan atau tingginya derajat seseorang.
  4. Kaki warak: keempat kaki warak berfungsi untuk menopang tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwasanya tubuh butuh empat pilar agar bisa berfungsi. Keempatnya adalah keagamaan, kemandirian, keterbukaan, dan kesejajaran.

Warak Ngendog dan Tradisi Dugderan di Semarang

Dirangkum dari jurnal berjudul Melestarikan Warisan Budaya Masyarakat Semarang dengan Dokumenter Warak Ngendog dalam Tradisi Dugderan Menggunakan Gaya Expository oleh Puspita Laras, konon, Dugderan telah ada pada tahun-tahun 1881-1889. Kala itu, Semarang tengah diperintah oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat.

Dugderan sendiri pada intinya adalah tradisi untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi ini dilaksanakan satu hari menjelang puasa Ramadhan di Semarang. Nama Dugderan berasal dari bunyi bedug di Masjid Besar Semarang, yakni 'dug' dan bunyi meriam, yakni 'der'. Keduanya kemudian membentuk paduan indah.

Prosesi Dugderan, sebagaimana disadur dari tesis bertajuk Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Dugderan di Kota Semarang oleh Akhmat Nurul Khaeroni asal Universitas Wahid Hasyim Semarang, adalah:

1. Pasar Rakyat (Megengan)

Megengan berasal dari dua kata, yakni 'tamu' dan 'ageng' (tamu agung), yakni bulan suci Ramadhan. Gembira akan kedatangan bulan ini, diadakanlah pasar rakyat di alun-alun selama kurang lebih 10 hari lamanya sebelum puasa.

Di pasar ini, para penjual mendapat peluang besar untuk menjajakan dagangannya. Benda-benda yang ditawarkan pun bervariasi, termasuk beragam jenis mainan tradisional, seperti gangsing bambu, warak, serta perabot alat masak dari gerabah.

2. Kirab Budaya

Mulanya, dalam tradisi Dugderan, tidak ada prosesi kirab. Namun, seiring perubahan zaman, diadakanlah kirab budaya. Kirab ini dimulai dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang dengan maskot warak ngendog.

Selain warak ngendog, beberapa kontingen lainnya turut memeriahkan kirab budaya Dugderan. Di antaranya adalah gamelan, pasukan merah putih, pasukan berkuda, barongsai dengan kepala warak, serta barisan-barisan komunitas yang ada.

3. Pengumuman Shukhuf Halaqah

Setelah sampai di Masjid Agung Semarang, walikota Semarang akan menerima hasil halaqah. Nah, sukhuf halaqah inilah yang menjadi pedoman wali kota Semarang untuk mengumumkan awal bulan Ramadhan kepada masyarakat.

Usai pengumuman, bedug akan ditabuh dibersamai dengan bunyi-bunyian mercon. Tabuhan bedug ini punya dua makna, yakni sebagai pengingat bagi warga muslim Semarang untuk mematuhi keputusan pemerintah (wali kota, sedangkan bagi warga nonmuslim, adalah agar bertoleransi sepanjang bulan.

Nah, itulah penjelasan lengkap mengenai warak ngendog, hewan mitologis yang tubuhnya tersusun dari gabungan tiga etnis di Semarang. Semoga menambah wawasan detikers, ya!




(par/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads