Dalam kepercayaan masyarakat Jawa masih ada larangan menikah di bulan Suro. Tidak hanya pernikahan, masyarakat juga pantang menggelar pesta apa pun bentuknya. Jika melanggar, dipercaya akan ada kemalangan yang terjadi.
Dikutip dari buku Misteri Bulan Suro oleh Muhammad Solikhin, kata Suro istilah Jawa untuk menyebut bulan Muharram. Kata "Suro" berasal dari kata "asyura" dalam bahasa Arab yang berarti "sepuluh," merujuk pada tanggal 10 Muharram.
Nama "Suro" menjadi lebih populer dibandingkan dengan nama bulan Muharram itu sendiri. Suro pun menjadi bulan yang paling keramat dibandingkan bulan-bulan lainnya dalam penanggalan Jawa atau Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mitos Larangan Menikah di Bulan Suro
Menurut Masrukan Maghfur dan Ahmad Hafid Safrudin dalam publikasi ilmiah berjudul Pantangan Melakukan Perkawinan pada Bulan Suro di Masyarakat Adat Jawa Perspektif Hukum Islam, bulan Suro dianggap keramat dan terdapat banyak larangan di dalamnya, termasuk menggelar pernikahan.
Larangan menikah di bulan Suro dihormati oleh masyarakat Jawa karena merupakan bagian dari norma atau adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun. Mitos menyebutkan bahwa melanggar adat ini bisa mendatangkan kesialan. Oleh karena itu, masyarakat merasa enggan menentang adat yang sudah ada.
Adat ini biasanya merujuk pada tradisi leluhur yang disampaikan secara lisan melalui cerita dan petuah. Praktik-praktik leluhur inilah yang menjadi sumber utama ajaran adat. Dalam kepercayaan Islam-Jawa, ada kombinasi antara ajaran Islam dan kepercayaan Jawa kuno. Masyarakat Islam-Jawa pun masih mempertahankan beberapa kebiasaan kejawen yang sudah ada sebelum kedatangan Islam.
Tradisi ini juga dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Jawa yang ada sebelum Islam. Dalam Islam-Jawa, bulan Suro dianggap terlalu mulia untuk mengadakan perayaan seperti pernikahan. Orang Jawa percaya bulan ini lebih cocok untuk introspeksi dan kegiatan spiritual lainnya.
Mitos yang mengiringi larangan menikah di bulan Suro juga terkait dengan peristiwa sejarah, seperti pembunuhan Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud pada tanggal tiga belas Suro. Kepercayaan ini menyebabkan masyarakat Islam-Jawa menghindari kegiatan sakral selama bulan Suro.
Bulan Suro dianggap sangat mulia dan sakral, sehingga masyarakat merasa tidak pantas untuk melakukan kegiatan besar seperti pernikahan atau hajatan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Suro adalah bulan untuk acara keraton, sedangkan orang biasa sebaiknya menghindari kegiatan tertentu. Larangan menikah di bulan Suro bukan karena bulan tersebut membawa petaka, tetapi karena kemuliaannya yang luar biasa bagi masyarakat Jawa.
Pandangan Agama Mengenai Larangan Menikah Saat Suro
1. Islam
Masih bersumber dari artikel Pantangan Melakukan Perkawinan pada Bulan Suro di Masyarakat Adat Jawa Perspektif Hukum Islam oleh Maghfur dan Ahmad Hafid Safrudin, syariat Islam tidak mengenal konsep hari, bulan, atau weton yang membawa sial atau keberuntungan.
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memerintahkan pernikahan tanpa membatasi waktu tertentu. Sebagaimana dalam Surah An-Nur ayat 32:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32)
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan tidak perlu menentukan hari, bulan, atau weton. Keyakinan bahwa bulan Suro membawa kesialan atau keberuntungan tidak dibenarkan dalam Islam karena dapat mendekati praktik syirik. Islam mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya.
2. Kristen
Sementara dalam artikel ilmiah berjudul Kajian Kritis Alkitab terhadap Pelaksanaan Tradisi Malam Satu Suro oleh Risma Sara N dan David Sarju Sucipto, tradisi Suro, termasuk larangan menikah di bulan Suro, dianggap sebagai kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab.
Keselamatan, berkat, dan perlindungan dalam iman Kristen datang melalui Yesus Kristus, dan bukan melalui praktik atau tradisi budaya. Semua hari adalah sama di mata Tuhan, dan pernikahan dapat dilakukan kapan saja tanpa terikat oleh keyakinan tentang hari atau bulan tertentu. Kristen mengajarkan untuk menghindari tahayul dan menggantungkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan.
Demikian penjelasan mengenai larangan menikah di bulan Suro menurut kepercayaan Jawa. Semoga bermanfaat!
(par/apu)