Tari Teatrikal Sangkan Paraning Dumadi Kaya Akan Falsafah Jawa

Tari Teatrikal Sangkan Paraning Dumadi Kaya Akan Falsafah Jawa

Achmad Niam Jamil - detikJateng
Selasa, 09 Jul 2024 22:25 WIB
Pertunjukan Tari Teatrikal di Panggung Taman Tirtonadi Blora
Foto: Achmad Niam Jamil/detikJateng
Blora -

Seni pertunjukan tari teatrikal bertajuk 'Sangkan Paraning Dumadi' berlangsung di Panggung Taman Tirtanadi Blora. Teatrikal ini memiliki nilai falsafah kehidupan masyarakat Jawa.

Pentas ini merupakan kolaborasi dari Komunitas Eksotika Desa dan Sanggar Tari Avadana yang berasal dari Borobudur, Magelang.

Ketua Eksotika Desa, Panji Kusumah sekaligus kurator pertunjukan tersebut menyebutkan bahwa pertunjukan tari teatrikal ini menyampaikan pesan-pesan kearifan hidup masyarakat Jawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Rangkaian perjalanan hidup manusia tersebut dikemas menjadi suatu pertunjukan tari teatrikal dengan judul 'Sangkan Paraning Dumadi' ini sebagai upaya untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan hidup masyarakat Jawa, senyampang dengan tuntunan hidup manusia agar senantiasa berlaku hamemayu hayuning bhawana," jelasnya, Selasa (9/7/2024).

Ia menambahkan melalui sebelas metrum macapat yang menggambarkan siklus hidup manusia. Dalam budaya Jawa, sebelas pola metrum macapat berupa Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung.

ADVERTISEMENT

"Sebelas pola metrum macapat tak sekadar merupakan sekar alit, melainkan juga dipahami secara filosofis sebagai suatu perlambang perjalanan manusia dari dan menuju Tuhan, bagian dari kawruh mengenai sangkan paraninig dumadi," tambahnya.

Menurut Panji, konsep ini bermula saat ia dan timnya berkunjung ke tokoh Sedulur Sikep, Mbah Lasiyo, di Blora. Mbah Lasiyo menceritakan ihwal bagaimana masyarakat selalu mengadakan ritual untuk berdoa kepada ke sang pencipta dan bersedekah ke sesama manusia.

"Bahwa ketika manusia lahir di dunia ini ada peran orang tua. Bagaimana janin ini tumbuh dewasa dia harus berbakti pada orang tua sampai akhir hayat. Ada prosesi ritus mulai dari kehamilan, kelahiran sampai kematian dan pascakematian. Ada proses mitoni, ada siraman untuk kedua orang tua dan mandi kembang dari 7 sumber. Kenapa ada 7 sumber? Tujuh itu dalam bahasa Jawa adalah pitu. Harapannya selama menunggu dari kehamilan, kelahiran dan kematian ada pitunjuk (petunjuk), pitutur (petuah) dan pitulungan (pertolongan). Mbah Lasiyo menegaskan itu. Jadi memang pentas itu harus kontekstual, memasukkan unsur-unsur lokal," tambah Panji.

Selain air 7 sumber, tambahnya, juga ada kembang dan air dipakai untuk siraman dan disiram sebanyak 7 kali. Kembang merupakan simbol supaya orangtua khususnya janin selalu berbau harum seperti kembang, sehingga ketika besar tidak mencemari nama baik orangtua dan tidak mencoreng keindahan yang telah diberikan kedua orangtua.

"Siraman dilakukan agar segala hal yang kotor, bisa luruh, bisa bersih kembali. Sehingga dia harus selalu berpikir berucap lurus dan becik (baik). Jadi awal sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia sudah dilimpahi dengan sejumlah doa dan harapan. Kita mengambil salah satu ajaran yang dikaitkan dengan seni mocopat, yang versi sangkan paraning dumadi," terangnya.

Pertunjukan tari teatrikal ini berlangsung selama 1,5 hingga 2 jam di Taman Tirtonadi Blora. Sebelumnya, para penampil yang merupakan kolaborasi dari Komunitas Eksotika Desa dan Sanggar Tari Avadana yang berasal dari Borobudur, Magelang, telah melakukan proses latihan selama dua bulan di Borobudur, Magelang.

"Yang tampil sebanyak 24 penari, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka akan memerankan fase Maskumambang hingga fase terakhir, yakni metrum ke-11, yakni Pucung," jelasnya.

Ia menyebutkan bahwa pementasan ini merupakan upaya untuk pemajuan budaya, yang sangat penting dilakukan. Ia juga berharap melalui pementasan ini masyarakat khususnya generasi milenial tertarik untuk memahami pesan-pesan dari falsafah kehidupan Jawa dan turut melestarikannya.

"Kami mencoba untuk menebarkan warna baru, imaji baru dalam menyampaikan tuturan falsafah melalui tari teatrikal yang harapannya bisa diminati oleh generasi muda. Kami khawatir kalau pitutur disampaikan dengan cara-cara yang pakem, justru anak-anak muda tidak mau mendekat. Harapannya anak muda tertarik dan mau belajar apa sih tuntunan apa yang disampaikan dalam tarian itu terkait falsafah kehidupan," tutup Panji Kusuma.

Untuk diketahui pertunjukan ini merupakan bagian dari acara Festival Budaya Spiritual Kabupaten Blora 2024 yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kemendikbud Ristek RI bekerjasama dengan Pemkab Blora pada tanggal 8 - 10 Juli 2024.

Dalam rangkaian acara yang digelar selama tiga hari tersebut, diisi berbagai kegiatan diantaranya adalah Gelar Seni Pertunjukan Rakyat yang akan menampilkan tayub/ledek barangan, wayang krucil, barongan lodra dan jedoran. Acara lainnya adalah sarasehan dengan mengangkat tema 'Laku Sikep dan Relevansinya di Era Kekinian' dan Rembug Sedulur Sikep.

(anl/ega)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads