4 Upacara Adat untuk Ibu Hamil dalam Budaya Masyarakat Jawa

4 Upacara Adat untuk Ibu Hamil dalam Budaya Masyarakat Jawa

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Senin, 27 Nov 2023 11:39 WIB
Ilustrasi ibu hamil
Ilustrasi upacara adat untuk ibu hamil dalam budaya masyarakat Jawa (Foto: Getty Images/iStockphoto/Mykola Sosiukin)
Solo -

Di tengah modernisasi, masyarakat Jawa tetap teguh memegang tradisi nenek moyang, seperti melaksanakan upacara adat untuk berbagai momen. Adapun salah satu upacara adat yang masih dilakukan hingga saat ini adalah upacara dalam rangka syukuran ibu hamil.

Bagi masyarakat Jawa, kehamilan bukan sebuah fenomena yang sederhana. Kehamilan dianggap sebagai sebuah proses suci yang melibatkan keselarasan antara tubuh, pikiran, dan roh.

Oleh karena itu, masyarakat Jawa menjalankan berbagai upacara khusus untuk ibu hamil. Harapannya ibu hamil tersebut selalu sehat sepanjang kehamilannya dan melahirkan anak yang baik, sehat, serta tidak kekurangan apapun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kali ini, detikJateng akan memberikan penjelasan mengenai tradisi untuk ibu hamil di Jawa berdasarkan informasi dari artikel berjudul Pregnancy Tradition Ceremony in Javanese Society oleh Zulkifli,Yenni, Dila Yulinda Sari, Angeline Rachel, dan Dirga Elland Sasihade yang dimuat di Indonesian Journal of Medical Anthropology Vol. 4 No. 1 (2023).

4 Upacara Adat Jawa untuk Ibu Hamil

1. Mapati

Tradisi untuk calon ibu diawali sejak satu hingga dua bulan kehamilan. Pada masa kehamilan muda, yaitu antara satu hingga empat bulan, sering disebut sebagai masa "nyidam" atau "ngidam".

ADVERTISEMENT

Sebuah upacara singkat atau selamatan kecil dilakukan sebagai pengakuan awal kehamilan, yang juga dikenal sebagai bancakan. Perubahan pola hidup masyarakat berdampak besar pada pelaksanaan tradisi ini, terutama dalam ritual persalinan.

Banyak orang Jawa yang tidak lagi melaksanakan upacara tradisional sebelum persalinan, termasuk upacara pada bulan pertama hingga kelima kehamilan.

Upacara Mapati dilakukan pada bulan keempat kehamilan, umumnya sebagai bentuk selamatan dan doa untuk bayi dan calon ibu. Menurut kepercayaan Islam, Mapati dilakukan pada usia kandungan empat bulan, tepat saat roh janin ditiupkan.

Hidup dimulai dengan jiwa ketika janin (embrio) berusia 120 hari (empat bulan). Selanjutnya, ditentukan bagaimana janin akan melanjutkan hidupnya di dunia hingga akhirat. Untuk menghormati ketentuan ini, diadakanlah upacara Ngapati (Ngupati), berupa doa sebagai ungkapan rasa syukur, tunduk, dan penyerahan.

Doa tersebut memohon agar anak yang lahir menjadi manusia yang sempurna, sehat, dilimpahi rezeki yang baik, memiliki umur panjang, penuh nilai-nilai keagamaan, serta beruntung di dunia dan akhirat.

2. Tingkeban

Mitoni atau sering disebut juga sebagai upacara Tingkeban, berasal dari bahasa Jawa "pitu" yang berarti tujuh. Upacara dilakukan saat usia kandungan mencapai tujuh bulan. Acara ini biasanya diadakan pada tanggal dengan nilai tujuh, seperti tanggal ketujuh, ketujuh belas, dan kedua puluh tujuh.

Masyarakat Jawa lebih menyukai tanggal ketujuh karena memiliki nilai tujuh, menjadikannya hari yang paling tua dalam sebulan.

Saat upacara Tingkeban, ada sejumlah hidangan yang disajikan, antara lain rujak tujuh jenis buah, waluh atau labu, pendel atau kencur (umbi-umbian), tumpeng lengkap dengan lauk ikan laut, ayam ingkung, sayur, nasi liwet, ketupat, lepet, tujuh jenis bubur, jajanan pasar, dan dawet.

Selain bahan-bahan tersebut, ada beberapa barang lain, termasuk air dari tujuh sumur atau sumber, telur ayam, cengkir (kelapa muda), setaman atau tujuh jenis bunga, dan tujuh lembar kain batik dengan tujuh pola berbeda.

Upacara Tingkeban dimulai dengan doa oleh sesepuh atau modin, diikuti dengan sebuah acara adat yang terdiri dari siraman di kamar mandi atau sumur. Siraman dilakukan oleh tujuh perempuan tua yang dihormati, yang secara bergantian menyiram tubuh calon ibu dengan air dari tujuh sumber yang telah diberikan tata rupa tujuh bunga.

Setelah siraman selesai, siwur (gayung kelapa) dan pengaron (kendi air dari tanah liat) dipecahkan. Prosesi selanjutnya adalah menaruh sebutir telur dari calon ayah ke dalam kain atau sarung yang dikenakan hingga telur meluncur ke bawah.

Upacara brojolan kemudian dilakukan menggunakan dua cengkir kelapa muda yang dihias wajah Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembadra.

Orang tua perempuan dan laki-laki calon ibu menerima dua cengkir tersebut di bagian bawah perut calon ibu saat diluncurkan dari perut ke rahim calon ibu. Dua cengkir kelapa ini kemudian diletakkan di tempat tidur seperti bayi.

Setelah upacara brojolan, dilanjutkan dengan upacara tukar pakaian. Tujuh set pakaian berupa kebaya berwarna-warni, kembang, dan jarik dengan berbagai motif. Motif jarik yang digunakan dalam upacara adat Tingkep selalu dianggap sebagai sesuatu yang positif, dengan harapan akan membawa kebahagiaan.

Ritual pertukaran pakaian ini dilakukan di ruang tamu dan disaksikan oleh para undangan atau tamu yang hadir.

3. Mrocoti atau Ndadung

Tradisi Jawa untuk ibu hamil selanjutnya adalah mrocoti atau ndadung. Biasanya, tradisi ini dilakukan pada bulan kesembilan.

Dalam upacara ini, para tamu disuguhkan jenang atau bubur yang terbuat dari tepung ketan, santan kelapa, dan gula kelapa. Jenang ini disajikan dalam sebuah wadah dari daun pisang. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai jenang procot.

Dalam upacara ini, leher calon ibu diikat dengan longgar menggunakan tali dadung dan suaminya membawanya ke kandang kerbau atau sapi.

4. Ndaweti

Ndaweti dilakukan ketika usia kehamilan mencapai sepuluh bulan dan bayi belum lahir. Tepung beras, santan kelapa, dan gula merah dicampur untuk membuat dawet plencing yang menjadi peralatan utama dalam upacara ini.

Makanan manis ini dijual secara simbolis kepada anak-anak di sekitar rumah. Anak-anak membayar dengan kreweng, pecahan genteng peralatan rumah yang terbuat dari tanah liat. Upacara tradisional ini dilakukan tanpa bimbingan kyai/modin sebagai pemandu upacara.

Dawet plecing terdiri dari dua kata, yaitu dawet dan plecing. Dawet di sini mengacu pada harapan orang tua bahwa anak-anak mereka akan diberkahi dengan kehidupan yang manis dan kekayaan besar seperti biji dawet yang lezat dan berlimpah.

Sementara kata plecing diterjemahkan sebagai "berjalan cepat" dalam bahasa Jawa. Secara harfiah, orang tua berharap proses persalinan berjalan lancar.

Konsep di balik penjualan dawet plencing kepada anak-anak adalah bahwa anak-anak adalah sumber harapan bagi orangtuanya. Oleh karena itu, jika calon orangtua menjual dawet plencing ini kepada anak-anak, mereka menerima dukungan untuk kelahiran anak-anak masa depan mereka.

Itulah empat tradisi Jawa untuk wanita hamil yang populer. Apakah di daerah kamu masih melestarikan tradisi seperti ini, Lur?




(ams/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads