Perjalanan Batik: Dari Busana Raja hingga Kini Dipakai Masyarakat Biasa

Perjalanan Batik: Dari Busana Raja hingga Kini Dipakai Masyarakat Biasa

Muthia Alya Rahmawati - detikJateng
Selasa, 24 Okt 2023 11:00 WIB
Batik parang barong dalam buku All About Batik.
Perjalanan Batik: Dari Busana Raja hingga Kini Dipakai Masyarakat Biasa (Batik parang barong. Foto: Dok. buku All About Batik)
Solo -

Batik yang merupakan seni kain khas Indonesia, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan identitas bangsa ini. Pada zaman dahulu, batik adalah simbol eksklusivitas dan hanya boleh dikenakan oleh keluarga kerajaan serta orang-orang bangsawan.

Dulu, batik memegang peran penting dalam lingkungan kerajaan atau keraton sebagai simbol status dan identitas. Namun, seiring berjalannya waktu, batik tidak lagi terbatas pada kalangan keraton.

Transformasi ini dimulai dari perkembangan teknik pembuatan dan pola batik yang kemudian menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat umum. Kini, batik adalah pakaian yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai acara, dari kegiatan sehari-hari hingga upacara keagamaan dan perayaan budaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Batik di Keraton

Menurut buku "All About Batik: Art of Traditional and Harmony" (2007) karya Masakatsu Tozu, dkk, dahulu batik hanya untuk kalangan keraton dan menjadi hal penting. Di kerajaan Hindu-Jawa kuno, batik sangat dihormati dan hanya diperbolehkan untuk bangsawan dan keturunannya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz dalam buku tersebut, dalam pembuatan batik melibatkan proses yang berlangsung berbulan-bulan, termasuk pembuatan pola, menggambar, dan mewarnai batik. Hal ini merupakan cara untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya Hindu-Jawa.

ADVERTISEMENT

Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh perempuan yang ahli dan memiliki pendidikan tinggi, yang masuk dalam golongan priyayi. Motif batik yang umum digunakan dalam keraton adalah Batik Ganggong, Ceplok, Nirik, Kawung, Parang Lereng, dan Semen.

Batik untuk Warga Biasa

Namun, mulai abad ke-17, batik yang awalnya terkait erat dengan kelas priyayi dan keraton, secara perlahan mulai diproduksi oleh warga biasa. Bahan baku batik juga mulai diperoleh dari berbagai tempat, misalnya kain katun yang diimpor dalam jumlah besar dari India dan lilin lebah yang diimpor dalam jumlah besar dari Pulau Timor dan Palembang di Sumatera. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat biaya bahan baku.

Akibatnya, batik yang sebelumnya merupakan kerajinan eksklusif keraton dan simbol kewibawaan, kini diproduksi secara luas oleh masyarakat umum. Ketika batik mulai diproduksi secara luas oleh masyarakat umum, keraton kemudian membuat pola khusus untuk digunakan di dalam keraton saja dan warga biasa diwajibkan mengenakannya pada hari Senin.

Di dalam keraton, dalam penggunaan motif batik ini, diberlakukan aturan yang ketat dan bervariasi, tergantung pada status penggunanya. Pada tahun 1769, Raja Surakarta mengeluarkan dekrit resmi yang melarang siapapun selain dirinya dan anak-anaknya mengenakan pola Jlamprang.

Hal ini berlanjut pada tahun 1784 dan 1790, Raja Surakarta mengeluarkan perintah yang membatasi penggunaan pola Jlamprang, Parang Rusak, Sawat Garuda, dan Udang Liris hanya untuk raja dan anak-anaknya.

Batik Parang

Salah satu motif batik yang hanya diperbolehkan digunakan untuk keluarga kerajaan adalah Batik Parang. Dalam sejarah Jawa, Sultan Agung Hanyokrokusumo III mengungkapkan bahwa desain motif Parang terinspirasi oleh bentuk ombak di pantai selatan.

Menurutnya, ombak kuat di pantai selatan dapat menghancurkan batu besar sekalipun. Oleh karena itu, ia memutuskan bahwa motif ini tidak boleh digunakan oleh semua orang, melainkan hanya oleh individu yang memiliki pikiran cepat, aktif, dan kemampuan untuk menangani masalah politik. Hal ini merupakan representasi dari ombak tersebut.

Namun, pernyataan mengenai arti parang tersebut sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan oleh pemerhati sejarah dan budaya dari Surakarta, Kanjeng Nuky.

"Arti parang adalah dari kata "lereng" atau "pereng" yang menggambarkan semangat yg tak pernah padam, hal yg harus dimiliki oleh seorang raja atau ksatria. Juga lambang kesinambungan," ungkapnya ketika diwawancarai detikJateng melalui pesan singkat pada Jumat (20/10/2023).

Lebih lanjut, Kanjeng Nuky mengungkapkan bahwa parang diciptakan oleh Panembahan Senopati. Motif S pada motif tersebut terlihat menyambung, seperti alur ombak yang berkesinambungan. Inspirasi itu didapat ketika beliau bermeditasi di pantai Laut Selatan.

Panembahan Senopati dan Sultan Agung Hanyokrokusumo III merupakan orang yang berpengaruh ketika masa Kerajaan Mataram Islam berdiri dan menguasai hampir seluruh wilayah Jawa pada saat itu. Dapat dikatakan bahwa motif parang ini muncul sejak masa Kerajaan Mataram Islam berkuasa.

"(Parang Barong) Hanya boleh dikenakan oleh keluarga raja karena ya itu tadi, dibuat untuk raja. Untuk menampilkan spirit dari seorang raja yang tersirat dalam motifnya," jelas Kanjeng Nuky.

Meski Batik Parang awalnya hanya untuk kalangan keraton, kini Batik Parang dapat digunakan untuk segala kalangan. Biasanya kain motif Parang digunakan sebagai kemeja dan dikombinasi dengan motif batik lainnya.

Menurut Kanjeng Nuky, berlakunya kebolehan motif parang dipakai masyarakat umum disebabkan oleh biasnya tingkah laku adat budaya yang berjalan dalam tatanan masyarakat modern saat ini.

Simbol-simbol budaya dan sekat yang terbentuk pada sejarahnya sudah terasa hilang, hal itu dapat dilihat dari anak muda yang saat ini sering memadupadankan kain jarik dengan sepatu kets.

Namun, motif Parang ini tetap dilarang digunakan untuk masyarakat di luar kerajaan ketika berada di lingkup keraton.

"Digunakan oleh raja-raja di Keraton Surakarta. Utamanya jika ada upacara hari raya, yang boleh menggunakan parang hanya raja dan keluarga. Abdi dalem pun tidak boleh," ujar Kartono, seorang Abdi Dalem Pura Mangkunegaran Surakarta, ketika ditemui detikJateng di Pura Mangkunegaran, Jumat (20/10/2023).

Sementara itu diketahui, kini batik tak hanya menjadi busana di kalangan masyarakat Indonesia. Saat ini, eksistensi batik bahkan sudah melebar ke kancah internasional.

Pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO telah menetapkan Batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Artikel ini ditulis oleh Muthia Alya Rahmawati peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2
(cln/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads