Tradisi Syawalan di bagian timur Kota Semarang tepatnya di kawasan Pedurungan kembali digelar. Nama tradisinya cukup unik yaitu Kupat Jembut.
Nama Kupat kependekan dari Ketupat dan Jembut diambil untuk memudahkan penyebutan karena Ketupat yang disajikan diiris tengahnya kemudian diisi taoge mirip rambut dan sayur.
"Penamaannya ini untuk memudahkan saja. Aslinya ya ini Ketupat Taoge," kata Imam Masjid Rudlotul Muttaqin di kawasan kampung Jaten Cilik Pedurungan, Munawir, Sabtu (29/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sekitar Masjid Rudlotul Muttaqin itu tradisi Kupat Jembut digelar setelah salat Subuh. Anak-anak yang berkumpul kemudian berebut ketupat dan uang.
Acara berlangsung meriah ketika setiap warga dari rumahnya memberikan tanda kemudian anak-anak berlarian menghampiri untuk berebut ketupat atau uang. Warga lain lalu memberikan tanda dengan berteriak atau memukuli tiang listrik, anak-anak kembali berlari menghampiri. Rintik hujan yang turun pun tidak meredupkan kemeriahan tradisi Syawalan di sana.
![]() |
Ada yang tidak kebagian Kupat Jembut, namun suasana masih gayeng karena warga tetap membagikan uang kepada anak-anak.
"Iya ini nggak kebagian, tapi ini dapat uang. Seneng aja ya, meriah," ujar Zahira (16).
Di Gang Pedurungan Tengah II, tradisi Kupat Jembut juga berlangsung. Para anak-anak dan remaja dikumpulkan sebelum dimulai, kemudian ada yang memandu mengunjungi rumah yang akan membagikan Kupat Jembut atau uang.
"Ada yang memandu, kalau rebutan kasihan yang anak-anak kecil," kata Ketua RW 1 Kelurahan Pedurungan Tengah, Wasi Darsono.
Dalam Syawalan itu, anak-anak didahulukan baris paling depan agar kebagian. Selain membagikan ketupat dan uang, warga yang ikut di acara Syawalan itu juga saling bermaaf-maafan dengan tetangga.
![]() |
Sejarah Kupat Jembut
Asal muasal tradisi Kupat Jembut ini memang belum tercatat resmi, namun secara turun-temurun diketahui tradisi itu sudah ada sejak sekitar tahun 1950. Saat itu warga sekitar Pedurungan kembali dari pengungsian di daerah Mranggen Demak dan Gubug Grobogan.
"Diawali sekitar 1950-an. Waktu itu warga sini habis ngungsi karena Perang Dunia kedua. Ada yang ngungsi ke Mranggen dan wilayah Gubug," jelas Imam Masjid Rudlotul Muttaqin di kawasan kampung Jaten Cilik Pedurungan, Munawir.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Penamaan itu untuk mudahnya saja. Kupatnya memang seperti ada rambutnya. Orang-orang menyebutnya Kupat Jembut. Tapi untuk awal-awalnya karena kesederhanaan sebetulnya kami menyebutnya kupat taoge," jelas Munawir.
Baca juga: Filosofi dan Makna Ketupat Lebaran |
Belakangan ini biasanya Kupat Jembut juga diselipi plastik berisi uang, namun kata Munawir, dulu sempat Kupat Jembut diisi dengan petasan sebagai bentuk protes situasi Indonesia sekitar tahun 1965.
"Awalnya dulu pada tahun '65, bentuknya malah dikasih kupat dan mercon. Jadi mercon sampai sekitar tahun '85, sebagai bentuk protes keadaan waktu itu. Karena keadaan semakin baik, ekonomi semakin baik terus dikasih kupat dan jajanan. Sampai tahun 90-an ke sini mulai ada dikasih uang," ujar Munawir yang sudah mengikuti tradisi Kupat Jembut sejak kecil itu.
Simak Video "Video: Eks Walkot Semarang Mbak Ita Dituntut 6 Tahun Bui "
[Gambas:Video 20detik]
(alg/rih)