Kisah Tradisi Nyadran di Sukabumi Boyolali, Konon Sejak Abad ke-16

Kisah Tradisi Nyadran di Sukabumi Boyolali, Konon Sejak Abad ke-16

Jarmaji - detikJateng
Kamis, 09 Mar 2023 15:43 WIB
Tradisi sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Kamis (9/3/2023).
Tradisi sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Kamis (9/3/2023). Foto: Jarmaji/detikJateng
Boyolali -

Tiap menjelang Ramadan, warga sejumlah desa di lereng Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali, sibuk menggelar nyadran atau sadranan. Konon tradisi ini sudah dilaksanakan di Boyolali sejak abad ke-16. Berikut ceritanya.

Nyadran digelar tiap bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Namun, hari pelaksanaannya berbeda-beda di tiap daerah. Pada umumnya nyadran dimulai sejak tanggal 15 Ruwah hingga akhir bulan.

Hari ini nyadran digelar warga Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, dan warga Dukuh Dungus, Desa Seboto, Kecamatan Ampel. Kemarin, sadranan berlangsung di Dukuh Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi mendoakan para leluhur di tempat permakaman Puroloyo, Desa Sukabumi, Cepogo, berlangsung meriah. Usai berdoa bersama, warga lalu berebut makanan dari dalam tenong.

"Sadranan di Desa Sukabumi berlangsung tiap tanggal 16 Ruwah. Diikuti warga dari Desa Sukabumi, sebagian Desa Mliwis dan Desa Cepogo," kata sesepuh Desa Sukabumi, KH Maskuri, di lokasi, Kamis (9/3/2023).

ADVERTISEMENT

Menurut Maskuri, sadranan di Desa Sukabumi diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 1.500. "Itu dari cerita dan beberapa literatur yang ada. Yang pertama di sini (cikal bakal Dukuh Tunggulsari, Desa Sukabumi) namanya Syekh Ibrahim berjuluk Kyai Bonggol Jati," terangnya.

Syekh Ibrahim dikenal sebagai penyebar Islam di wilayah Cepogo. Dia disebut sebagai salah satu anggota tim utusan dari Kerajaan Demak Bintoro yang menyebarkan Islam ke wilayah selatan.

"Mbah Bonggol Jati meninggal dan dimakamkan di sini (makam Puroloyo). Kemudian anak cucunya sampai sekarang setiap tahun ziarah kubur, bubak (bersih-bersih makam) dan disebut sadranan," papar Maskuri.

Sadranan pada bulan Syaban atau Ruwah juga dimaknai sebagai bulan arwah, masa untuk mendoakan para leluhur. Awalnya tradisi sadranan hanya digelar sederhana. Kini menu dalam sadranan sudah bervariasi meski tak ada pakem khusus untuk jenis makanan yang harus dibawa ke makam.

"Tradisi ini merupakan bentuk kegiatan amaliyah dari warga, untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. Warga mengeluarkan sedekah berujud makanan menggunakan tenong. Tenong ini mengandung maksud agar anak cucu tetap hidup rukun, menyatu dalam keluarga," jelasnya.

Maskuri menambahkan, rangkaian tradisi sadranan dimulai pada Rabu (8/3) malam. Warga dari tiga desa yang memiliki ahli waris di Makam Puroloyo menggelar tahlil di komplek makam.

Pada malam itu juga dibacakan silsilah cikal bakal setempat. Baru keesokan paginya atau hari ini dilaksanakan bubak, besik, dan dilanjutkan dengan sadranan.




(dil/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads