Pengembaraan Cebolang sampai di daerah Wirasaba. Di tempat tersebut dia mendapatkan tanggapan sulapan dari Adipati yang tengah memiliki hajatan atas kelahiran anaknya.
Kisah perjalanan Cebolang itu tertulis dalam Serat Centhini jilid V. Serat tersebut ditulis pada 1814-1823 yang diprakarsai oleh Putra Mahkota Keraton Solo Amangkunagara III yang kemudian bertahta dengan gelar Paku Buwono V.
Dalam pertunjukan tersebut Cebolang membawa penari-penari yang membuat para penonton terpesona, termasuk Sang Adipati yang merupakan tuan rumah dalam pesta tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terjadi sebuah percakapan antara Adipati dengan Cebolang.
Ki Dipati ris ngendika
Endi sabatmu kang dadi
Tandhak kang jebles wanodya
Mas Cebolang matur inggih
Punika kang prayogi
Pun Nurwitri namanipun
Pinundhut binusanan
Carestri ronggeng linuwih
Pinaringken kinen tumili lekasa
Dikutip dari saduran kitab Centhini Tabangraras-Amongraga yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press (2018), di percakapan melalui bait Tembang Sinom itu Ki Adipati bertanya kepada Cebolang, "Manakah temanmu yang menjadi penari dengan dandanan yang serupa benar dengan seorang wanita?"
Mas Cebolang berkata,"Inilah yang pantas, namanya Nurwitri,"
Diambilnya pakaian penari wanita yang indah dan segera segera diberikan, disuruhnya segera mengenakannya serta menari lagi.
Dalam jejak yang tertulis di Serat Centhini itu diketahui bahwa kesenian lengger lanang sudah ada di kawasan Wirasaba, sekarang dikenal dengan Banyumas, sejak ratusan tahun silam.
Kesenian lengger lanang ini memang memiliki keunikan, berbeda dengan kebanyakan lengger pada umumnya yang ditarikan oleh seorang wanita. Lengger lanang ditarikan oleh pria yang mengenakan busana wanita dan menari dengan gemulai.
Lengger lanang selengkapnya ada di halaman berikutnya...
Dalam artikel berjudul Eksistensi Lengger Lanang Langgeng Sari Banyumas (Jurnal Imaji Vol 19 No 1, 2021), Resita Aprilia menulis bahwa lengger lanang merupakan sebuah kesenian yang hidup dan berkembang di Banyumas.
Bahkan, sejatinya tarian ini memang ditarikan oleh pria. Namun di kemudian hari juga banyak wanita yang menari lengger.
Menurut Aprilia, terdapat tiga pola dalam struktur kesenian lengger lanang. Pada pola awal, penari muncul dengan gerakan gagah sambil membawa nampan berisi sanggul dan sampur. Mereka melakukan ritual sebelum menjadi penari lengger diiringi dengan tembang mantram.
Setelah mengenakan sanggul dan berpakaian seperti layaknya perempuan, mulailah mereka menarikan lengger lanang dengan iringan gendhing sekar gadhung.
Pada pola tengah, penari terus membawakan tarian lengger dengan iringan 4 gendhing yang berbeda, yaitu Gunungsari Kalibagoran, Lobong ilalang, Sulang Surup, dan Ngerong.
Adapun pola akhir dalam pertunjukan ini penari lengger menari dengan iringan gendhing Eling-eling dan Bendrong Kulon. Ini merupakan gendhing pamungkas dalam pertunjukan lengger lanang.
Sedangkan dalam makalah yang disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi dan Penayangan Film Dokumenter di Kabupaten Banyumas pada 2015, Ahmad Tohari menulis akar kesenian lengger dipercaya berawal dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburan yang dulu dilakukan oleh masyarakat Hindu.
"Jadi pada awalnya adalah sebuah ritus yang sakral," tulis Ahmad Tohari dalam makalah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta itu.
Namun ritus ini kemudian berkembang di tengah para petani yang juga sangat memuja dewi kesuburan. Maka pada masa lalu tari lengger dipentaskan sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen.
Tohari menyebut lengger lanang sebagai seni transgender yang keberadaannya telah disebut dalam Serat Centhini. Di 2015, Ahmad Tohari mencatat di Banyumas masih ada tujuh penari lengger lanang yang masih berusia muda.
Namun, bagi masyarakat di Banyumas, bukan hanya kepiawaian menari dengan gerak perempuan yang dibutuhkan oleh seorang penari lengger lanang. Masyarakat meyakini hanya orang yang kerasukan indang yang bisa menjadi penari lengger.
"Hingga saat ini masih banyak orang yang percaya adanya indang lengger yang konon bisa merasuki perempuan maupun laki-laki. Orang atau anak muda perempuan maupun laki-laki, bila dia kerasukan indang, maka dia akan jadi lengger. Demikian mitos yang lama hidup di Banyumas," tulis Tohari dalam makalah tersebut.