Perjalanan Mas Cebolang terhenti di rumah Amat Tengara yang berada di Kerta, ibu kota Kerajaan Mataram. Oleh Amat dan ibunya yang merupakan abdi dalem Keraton Mataram, Cebolang disuguhi berbagai makanan di antaranya nasi, dendeng, jenang, telur dan tak lupa teh beserta gula aren.
Potongan cerita di atas merupakan bagian dari Serat Centhini yang membuktikan bahwa minuman teh ternyata sudah menjadi bagian dari budaya orang Jawa sejak zaman dahulu. Tak heran jika budaya minum teh atau ngeteh sudah mengakar di kehidupan orang Jawa, khususnya dari Kerajaan Mataram yang berlanjut menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Bahkan, budaya itu tetap terpelihara di daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Solo itu hingga di era modern ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahjudi Pantja Sunjata dkk dalam buku Kuliner Jawa dalam Serat Centhini (2014) menyebut bahwa kata 'teh' muncul beberapa kali dalam kitab ensiklopedia budaya Jawa tersebut. Selain untuk menyuguhi tamu seperti kisah di atas, teh juga dijual oleh pedagang di pertunjukan wayang, serta menjadi salah satu bagian dari sesaji.
Serat Centhini ditulis dalam kurun waktu 1814-1823 atas perintah raja Paku Buwono V sejak menjadi putra mahkota Keraton Kasunanan Surakarta. Artinya, teh memang sudah dikenal di era tersebut.
Baca juga: Kenapa Wong Solo Hobi Banget Ngeteh? |
Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, mencatat bahwa Inspektur Budi Daya Teh di Hindia Belanda, Jacobson pernah mendatangkan biji teh dari Cina pada 1833. Sebanyak 14 titik di Jawa menjadi tempat penanaman biji teh tersebut.
Penulis buku Keplek Ilat: Sejarah Wisata Kuliner Solo itu mengatakan budaya teh terus berlanjut ke era Paku Buwono X (1893-1939) yang pernah memiliki pabrik teh di Ngampel, Boyolali. Paku Buwono X beserta prameswari pun hadir dalam peresmian pabrik yang kemudian mengekspor teh hingga ke Eropa tersebut.
"Fakta ini ada di dalam Serat Biwadha Nata pada kalimat: Ing Ngampel dereng dangu mentas kabikak pabrik teh kagungan dalem, nama Madusita. Madu artinya manis, sita berarti hati atau adem," kata dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut, saat dihubungi detikJateng, Sabtu (24/9/2022).
Pabrik teh tersebut menjadi pusat perekonomian yang berdampak besar karena banyak warga lokal yang bisa mencari nafkah di sana. Mereka mengangkut daun teh hijau, mengusung kayu bakar, memelihara bangunan pabrik, hingga mengangkut teh kering keluar dari pabrik pengolahan.
Teh sebagai budaya kaum elite hingga rakyat jelata di halaman berikutnya
Gaya hidup elite
Orang Belanda yang hidup di Indonesia saat itu memiliki kebiasaan ngeteh sambil bersantai, meskipun budaya ini tidak populer di negeri asal mereka. Tak berbeda dengan kaum elite Jawa yang mengikuti gaya hidup orang kulit putih itu.
"Seperti di wilayah pesisir, dibuktikan oleh keluarga Kartini dan Sosroningrat yang memiliki kebiasaan minum teh di sore hari. Kultur masyarakat pesisir yang terbuka memudahkan menyerap budaya dari luar," ujar Heri.
Bahkan layaknya budaya table manner orang Barat, cara minum teh keluarga bangsawan Jawa juga diatur. Misalnya tak boleh menyeruput teh sampai berbunyi.
"Minum teh juga menjadi bagian dari jamuan makan tamu agung. Seperti tanggal 2 Juli 1901, Raja Siam (Thailand) berkunjung ke Mangkunegaran dan Kasunanan. Raja diajak ke ruang makan mewah untuk menyantap sajian makanan dan minum teh," kata dia.
Tak hanya itu, kebiasaan minum teh para bangsawan ini ternyata juga menggambarkan status sosial mereka. Sebab mereka seakan memamerkan perlengkapan minum teh mereka yang terbuat dari porselen, perak, hingga emas.
Kini teh punya rakyat
Seiring waktu berjalan, budaya ngeteh tak lagi milik elite, namun seluruh masyarakat. Terutama di Solo, hampir seluruh warganya suka minum teh. Atau paling tidak, mereka menyediakan teh di rumahnya jika ada tamu datang.
Kini di angkringan atau wedangan kaki lima pun menjajakan aneka minuman teh, mulai dari teh krampul hingga teh tape, baik hangat maupun dingin. Betapa pun merebaknya warung kopi di Solo, kebiasaan minum teh belum tergeser. Teh masih menjadi juara!