detikers tentu merasakan hawa dingin di malam dan pagi hari beberapa waktu terakhir. Cuaca dingin itu biasa muncul menjelang musim kemarau. Masyarakat di Jawa menyebutnya sebagai musim bedhidhing.
Tentu saja, cuaca panas di siang hari dan dingin di malam hari membuat tubuh menjadi mudah sakit. Di musim pancaroba ini banyak orang yang mengeluh flu dan tubuhnya nggregesi atau tidak enak badan.
Ada beberapa fenomena yang menjadi dampak dari cuaca dingin itu. Di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, embun di pagi hari membeku karena suhu bisa mencapai minus 1 derajat celsius. Fenomena serupa juga terjadi di kawasan Bromo, Jawa Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uniknya, tidak semua wilayah Indonesia memiliki fenomena bedhidhing ini. Fenomena ini hanya ditemukan di Indonesia bagian Selatan, termasuk di Pulau Jawa. Hal ini menjadikan masyarakat di Jawa sudah menjadikan bedhidhing sebagai salah satu penanda musim.
Bedhidhing Menurut BMKG
Di situs resmi BMKG, Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Semarang menulis mengenai fenomena bedhidhing. Menurutnya, bedhidhing adalah istilah untuk menyebut perubahan suhu yang mencolok khususnya di awal musim kemarau. Suhu udara menjadi sangat dingin menjelang malam hingga pagi, sementara di siang hari suhu melonjak hingga panas menyengat.
Fenomena tersebut umum terjadi pada puncak musim kemarau, sekitar Juli hingga September di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara Timur. Musim bedhidhing diawali dengan pergerakan angin dari arah timur atau Benua Australia.
Hawa dingin yang muncul di musim bedhidhing tidak lepas dari pengaruh Australia yang juga sedang berada di musim dingin. Tekanan udara yang tinggi di Australia menyebabkan udara bergerak ke arah Indonesia.
Adapun angin itu melintas di perairan Samudera Indonesia yang juga memiliki hawa relatif dingin. Setiba di Indonesia, angin itu menyebabkan cuaca bedhidhing di daerah-daerah selatan khatulistiwa seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Bedhidhing dalam pranata mangsa masyarakat Jawa di halaman berikutnya...
Bedhidhing dalam Pranata Mangsa
Masyarakat Jawa sudah menjadikan bedhidhing sebagai salah satu penanda musim dalam pertanian. Dalam penanggalan pranata mangsa, bedhidhing masuk dalam Mangsa (musim) Sadha alias musim ke-12.
Dalam artikel Pranata Mangsa dan Budaya Kearifan Lokal di Jurnal Budaya Nusantara (Vol 2 No 1), Supardiyono Sabirin menuliskan di Mangsa Sadha ini adalah waktunya petani menjemur gabah dan menyimpannya ke dalam lumbung.
Menurutnya, Mangsa Sadha ini merupakan puncak dari musim kemarau dan memiliki tafsir mangsa berupa tirta sah saking sasana atau air menghilang dari tempatnya.
Adapun sifat dari musim ini adalah rontoging taru tala atau gugurnya dedaunan.
Tafsir dan sifat itu menandakan masyarakat petani biasanya sudah sulit memperoleh air karena sumber atau telaga sudah mengering.
Musim ini biasanya juga ditandai dengan mulai berbuahnya tanaman jeruk keprok, nanas, alpukat dan kesemek.