Pengarsipan dalam pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan pada 1973-1983 merupakan salah satu arsip terlengkap di dunia. UNESCO telah menobatkan arsip tersebut sebagai Memory of the World pada 2017 silam.
Dokumentasi itu terdiri dari berbagai laporan, gambar, denah maupun foto-foto. Hingga saat ini hasil pendokumentasian itu masih tersimpan dengan baik.
Bahkan dokumentasi tersebut, sebagian sudah digitalisasi dan bisa ditemui publik dalam website http://arsip.borobudurpedia.id. Foto-foto mengenai pemugaran Candi Borobudur sejak tahun 1973 sampai 1983, salah satunya karya Suparno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suparno merupakan salah satu petugas yang terlibat dalam kegiatan konservasi yang dilakukan selama satu dekade itu. Awalnya, dia bukan merupakan fotografer.
"Sebelum memulai pemugaran, semua kerusakan batu, kerusakan karena aus, karena tumbuhan, semua kerusakan didokumentasikan. Kebetulan kami diminta untuk motret semua, kebetulan saya kepilih jadi pemotret itu di samping saya ikut diklat untuk konservasi disuruh motret," kata Suparno ditemui di sela-sela kesibukannya, Rabu (8/6/2022).
"Keberuntungan saya itu bisa motret jenis-jenis kerusakan yang ada di Candi Borobudur. Saya bukan dokumentasi keseluruhan, tapi kegiatan kemiko arkeologi, kegiatan di sektor saya ikuti. Jadi kegiatan saya tahun 1973 sampai 1983 pemotretan saya setorkan ke dokumentasi. Disana nanti ada nomor kemiko kode kantor, induknya," ujarnya pensiunan pegawai Balai Konservasi Borobudur (BKB), itu.
Suparno yang biasa dipanggil Parno memiliki banyak kesan selama mengikuti pemugaran Candi Borobudur. Sebab, sejak saat itu dia dikenal sebagai fotografer, bahkan hingga saat ini.
"Yang sangat mengesankan saya sebelumnya tidak bisa motret. Itu sangat mengesankan sekali sampai akhirnya saya dipandang sebagai fotografer. Sebenarnya saya yang awalnya nol nggak punya (pengalaman) motret itu sampai sekarang yang namanya guru atau apa nggak ada, autodidak," tutur dia.
Saat pemugaran kala itu, lanjutnya, pemotretan menggunakan kamera jenis pentax. Pemotretan yang dilakukan masih menggunakan film sehingga membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian.
"Waktu di kantor (pakai) pentax SP2, sebelumya saya juga pakai kamera ya besar itu, yang medium. Itu Linhof dan kalau mau cari fokus harus pakai kerudung, jadi ada seperti kaca buram harus di gelap dulu fokusnya," ujar dia.
Selama melakoni tugasnya itu, berbagai pengalaman diperolehnya. Terkadang, semua hasil kerjanya rusak gegara film kameranya terbakar cahaya. Namun, bagi dia, semua pengalaman itu menjadi guru terbaik.
Parno menceritakan pengalamannya terkadang melakukan pemotretan dari ketinggian. Hal ini dilakukan agar bisa melakukan pemotretan seluruh bangunan candi yang dilakukan pemugaran secara utuh.
"Waktu pemugaran kita numpang di tower (semacam gondola) untuk memotret keseluruhan, objek yang kita perlukan saja. Ketinggian kurang lebih 100 meter untuk bentang," tuturnya seraya menyebut ada pemberatnya tapi kadang terkena angin.
(ahr/ahr)