Melihat Tradisi Nyadran di Makam Sewu Bantul Jelang Ramadan

Melihat Tradisi Nyadran di Makam Sewu Bantul Jelang Ramadan

Pradito Rida Pertana - detikJateng
Selasa, 29 Mar 2022 05:30 WIB
Kompleks Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DIY, Senin (28/3/2022).
Kompleks Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DIY, Senin (28/3/2022). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng
Bantul -

Tradisi nyadran atau ziarah ke makam para leluhur sebelum memasuki bulan Ramadan masih dilestarikan masyarakat Jawa. Seperti nyadran di Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DIY.

Pantauan detikJateng, tampak dari pintu masuk ke Makam Sewu berjejer para penjaja aneka makanan dan minuman hingga barang-barang seperti gelang dan kalung. Melongok lebih jauh, tepatnya di sekitar kompleks makam tersebut, tampak puluhan orang yang beberapa di antaranya mengenakan pakaian adat Jawa tengah mengikuti tradisi upacara adat nyadran pasarehan Makam Sewu.

Ketua panitia Nyadran Makam Sewu, Hariyadi, mengatakan nyadran adalah serangkaian adat yang sudah mendarah daging bagi umat muslim di Jawa. Nyadran sendiri kaitannya dengan ibadah murni untuk menghadapi bulan puasa dengan tujuan menyucikan diri secara lahir dan batin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama. Termasuk yang sesama ini yang sudah meninggal, leluhur kita kita doakan kita tengok sehingga komunikasi kita dari semua arah itu ada," kata Hariyadi saat ditemui di kompleks Makam Sewu, Senin (28/3/2022) sore.

"Jadi nyadran itu adalah bentuk doa kepada leluhur sebagai perwujudan bakti kepada orang tua termasuk leluhur yang sudah meninggal. Kita doakan, kita sedekahan, kita tengok makamnya, kita nyekar termasuk membersihkan makamnya," lanjut Hariyadi.

ADVERTISEMENT

Tradisi nyadran ini, kata Hariyadi, merupakan rangkaian yang telah dimulai sejak Minggu (27/3). Di mana awalnya melakukan bersih-bersih di makam leluhur dan malam harinya berdoa.

"Selanjutnya ini siang zikir tahlil dilanjut dengan kenduri dan akhirnya tabur bunga atau nyekar di makam Panembahan Bodho. Jadi makam yang kita sadrani yakni Panembahan Bodho, yaitu tokoh yang pertama syiar agama Islam di Bantul," ujarnya.

Dia menjelaskan, bahwa nama asli Panembahan Bodho adalah Raden Trenggono dan julukannya Ki Joko Bodo. Dia menyebut julukan Bodho karena Raden Trenggono enggan mewarisi takhta Adipati dan memilih untuk mensyiarkan agama Islam.

"Disebut Bodho karena dia tidak mau mewarisi takhta Adipati (Gubernur) di Terung Sidoarjo, itu bagian dari Kadipaten Majapahit yang terakhir, dia tidak mau mewarisi dan milih mensyiarkan agama Islam," ucapnya.

Kompleks Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DIY, Senin (28/3/2022).Kompleks Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DIY, Senin (28/3/2022). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng

Selanjutnya, Panembahan Bodho meninggal sekitar tahun 1600 dan dimakamkan di Makam Sewu. Hariyadi juga menjelaskan mengapa kompleks pemakaman seluas 4 hektare ini bernama Makam Sewu, bukan kompleks makam Panembahan Bodho.

"Awalnya yang semare (dimakamkan) kanjeng Panembahan Bodho sendiri, tapi karena arenanya luas keluarganya dan anak cucunya hingga berkembang ke masyarakat semua pakai," katanya.

"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun miliar. Makanya makam sewu itu makam yang banyak," imbuh Hariyadi.

Sementara itu, lanjutnya, untuk tradisi nyadran sendiri merupakan akulturasi budaya Islam dengan Hindu Jawa. Oleh sebab itu ubo rampe menyerupai sesajinya orang Hindu namun memiliki makna yang berbeda.

"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.

"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," lanjutnya.

Selain itu, nyadran di Makam Sewu tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, khususnya sebelum pandemi COVID-19. Mengingat untuk tahun ini tidak menggunakan kirab yang mengambil garis start di Kantor Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak.

"Ini tidak pakai kirab karena kondisi, belum mendapat lampu hijau untuk kegiatan yang mengundang banyak massa. Biasanya kan kirab dari Balai Kalurahan Wijirejo," ucapnya.

Menyoal nyadran dengan ibadah agama Islam, Hariyadi menilai bahwa ibadah terdiri dari hakikat dan syariat, di mana syariat menyesuaikan di mana umat Islam tinggal.

"Kita ibadah kita dengan syariat dan hakikat, hakikat intinya ibadah. Syariat itu terkait tata cara, tata cara yang paling tepat bagi kita sebagai orang Jawa apa? Kalau kita artinya yang penting hakikat jalan, ajaran Islam jalan tapi kita dengan budaya sendiri artinya tidak harus dengan budaya Arab," ujarnya.

Begitu pula dengan ubo rampe, Hariyadi menyebut bahwa hal tersebut adalah bentuk sedekah. Seperti halnya jika di Arab melakukan sedekah roti atau sebagainya.

"Seperti ubo rampe sedekahan, tidak harus sedekahan seperti orang Arab kan roti, nah kita dengan nasi uduk, gitu aja. Artinya juga semua bermakna nilai, baik filosofis maupun nilai sosial," imbuhnya.




(rih/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads