Sebagai pusat kebudayaan Jawa, Solo dan Jogja punya berbagai adat dan tradisi, termasuk dalam hal berpakaian. Meski masih dalam satu keluarga Mataram, keduanya memiliki gaya pakaian adat yang berbeda.
Menurut budayawan Kota Solo, Ronggojati Sugiyatno, perbedaan pakaian adat itu berawal dari Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Solo dan Jogja. Sejak itu, terjadilah revolusi kebudayaan besar-besaran di Solo.
"Saat paliyan nagari (pembelahan wilayah Mataram) setelah Perjanjian Giyanti, seluruh kebudayaan dibawa ke Yogya. Sinuhun Pakubuwono III kemudian melakukan revolusi kebudayaan, baik dari pakaian, keris, gamelan, wayang, tari," kata Sugiyatno saat ditemui detikJateng, Senin (20/12/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugiyatno yang akrab disapa Mbah No itu mengatakan, tata cara berpakaian Jawa diatur secara mengikat bagi lelaki. Sedangkan pakaian adat untuk perempuan tidak diatur secara khusus.
"Pakaian Jawa ini yang diatur laki-lakinya. Perempuan ada (pakaian adatnya) tapi tidak ada paugeran (aturan baku)," kata Mbah No, pemilik Toko Busana Jawi Suratman di Keprabon Solo, toko langganan keluarga Presiden Joko Widodo.
Tiga Bagian Utama
Sugiyatno membagi pakaian adat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu dhestar atau penutup kepala (blangkon), baju (beskap), dan canela atau alas kaki (selop). Ada falsafah tersendiri di balik pembagian itu.
"(Pakaian Jawa) laki-laki itu yang diukur tiga, yaitu dhestar, beskap, canela. Artinya, pikiran, rasa dan perilaku harus satu ukuran. Kalau jarik itu filosofinya doa dan harapan," ungkapnya.
Solo dan Jogja juga memiliki beberapa jenis pakaian adat yang dibedakan berdasarkan kepangkatan di keraton. Berikut ini beberapa perbedaan pakaian Jawa gaya Solo dan Jogja.
Blangkon
Bagian belakang blangkon gaya Solo berciri trepes atau rata. Sedangkan blangkon Jogja memiliki mondolan (tonjolan di belakang). Blangkon Jogja bagian depannya lebih tinggi dan cara memakainya ditarik sedikit ke belakang, sehingga mondolan itu sampai ke bawah.
"Kalau blangkon Solo bagian depan dan belakangnya hampir sama tinggi," kata Wahyudi, salah satu pengelola Toko Busana Jawi Suratman.
Soal motif, blangkon Solo pada bagian atasnya bercorak modang, seperti cahaya blencong (lampu dalam pertunjukan wayang kulit). Adapun blangkon Jogja biasanya bermotif kumitir.
"Tapi ada juga (blangkon) yang polos, itu menandakan kelas abdi dalem. Kalau dalam acara pernikahan, motif blangkon dan motif jarik harus sama," ujar Wahyudi. Dia menambahkan, blangkon Jogja dibentuk dengan banyak wiru atau lipatan kain. Sedangkan blangkon Solo tanpa wiru.
Beskap dan Surjan
Solo punya tiga model baju adat resmi, yaitu atela untuk kelas bawah, beskap untuk kelas menengah dan sikepan untuk kelas atas. Untuk masyarakat umum di luar keraton, pakaian adat yang dipakai adalah beskap.
"Untuk orang luar keraton yang sedang punya gawe (hajatan) pakai yang umum saja, beskap. Among tamu jangan pakai sikepan, karena yang punya acara harusnya merendah untuk menghargai tamu," kata Wahyudi.
Sedangkan pakaian adat gaya Jogja modelnya hanya satu, yaitu surjan. Kelas sosial surjan dibedakan dari motifnya. "Abdi dalem pakai surjan lurik. Kalau yang kelas atas pakai surjan sembagi (bermotif), misalnya bunga-bunga," ujar Wahyudi.
Jarik, Keris, dan Selop
Motif jarik dalam pakaian adat Jawa dibedakan tergantung tujuan penggunaannya. Untuk resepsi pernikahan, jarik yang digunakan biasanya bermotif Sido Mulyo. Sedangkan untuk acara kematian, motif jarik yang biasa digunakan adalah Sido Luhur.
Dalam acara resmi, pakaian adat Solo dan Jogja juga dilengkapi dengan keris. Warangka yang digunakan biasanya berjenis ladrang. Sedangkan untuk selop tidak ada perbedaan.
(dil/sip)