Presiden Prabowo telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5%. Hal ini dirasa memberatkan pengusaha di Jawa Tengah (Jateng), hingga berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berkurangnya lowongan kerja.
Pertanyakan Dasar Kenaikan UMP 6,5 Persen
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi mengaku sangat keberatan dengan kenaikan UMP hingga 6,5 persen.
"Kita belum tahu dasarnya apa kenaikan 6,5 persen ini. Tapi menteri sudah tetapkan. Jadi kita sekarang mau apa? Ya kita berusaha kita berusaha untuk melaksanakan ini, meskipun kita memang kecewa karena dasarnya itu tidak jelas," kata Frans saat dihubungi detikJateng, Rabu (4/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai, akan ada ribuan pengusaha di Jateng yang terdampak adanya kenaikan UMP hingga 6,5 persen. Pasalnya, kenaikan itu dinilai terlalu berat, khususnya bagi industri kecil dengan tenaga kerja melimpah seperti garmen, alas kaki, tekstil.
"Prabowo mengatakan program kerja beliau sebagai Presiden yang baru adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, jadi termasuk buruh dinaikkan upahnya. Tapi upah yang bayar pengusaha," ujarnya.
"Upah minimum dijadikan patokan kesejahteraan itu nggak bisa. Harusnya berdasarkan produktivitas, kompetensi. Karena upah minimum itu untuk orang yang baru masuk," sambungnya.
Potensi Muncul PHK
Menurut Frans, kenaikan UMP 6,5 persen yang disebut terlalu tinggi itu akan berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya peningkatan biaya produksi yang berpotensi membuat produksi di salah satu industri mandek dan berujung adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Harga produk mau tidak mau dinaikkan dan ini akan mengurangi daya saing kita, ini yang kita khawatirkan. Pengurangan daya saing berarti barang kita bisa tidak laku," terangnya.
"Kalau produk kita menumpuk di pabrik, berarti kita pengurangan jam kerja. Bisa jadi pengurangan tenaga kerja. Tapi kita berusaha untuk menghindari," sambungnya.
Tak hanya itu, Frans juga menyinggung peraturan penetapan upah minimum yang terus berubah tiap tahun bisa berpotensi mengurangi jumlah investor baru. Hal ini yang kemudian dapat berimbas dengan meningkatkan angka pengangguran di Jateng.
Terlebih, lanjutnya, kenaikan UMP 6,5 persen ini juga berbarengan dengan wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tahun depan. Biaya tambahan untuk produksi dirasa bisa semakin membengkak.
"PPN juga akan naik. Ini tambah beban, akumulasinya berat. UMP kan untuk pekerja baru, berpotensi lowongan kerja di Jawa Tengah juga semakin berkurang," paparnya.
Perhitungan Apindo
Frans mengungkapkan, menurut perhitungan Apindo, kenaikan UMP lebih ideal di angka 4 persen. Ia berharap pemerintah bisa lebih mempertimbangkan beberapa hal yang juga jadi pertimbangan para pengusaha.
"Pemerintah harus mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja, daya saing, terus ekonomi global kita. Perang Timur Tengah pengaruhnya masih kuat. Ekonomi dunia tidak baik-baik amat. Ekspor kita juga ada yang terganggu," jelas Frans.
"Idealnya yang kita perhitungkan ya sekitar 4 persen, mempertimbangkan faktor-faktor yang tadi," pungkasnya.
(rih/ahr)