Kelangkaan stok hingga kenaikan harga tabung gas LPG tabung 3 kilogram (kg) atau yang kerap disebut tabung gas melon, mulai dirasakan masyarakat Solo. Beberapa warga mengeluh kesulitan mencari warung atau pangkalan resmi yang menjual gas melon sejak 2 minggu hingga 2 bulan terakhir.
Nugraha (24), warga Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, mengatakan kelangkaan tabung gas 3 kg itu sudah dirasakannya sekitar hampir 2 minggu. Menurutnya, kelangkaan tabung gas melon itu cukup memengaruhi usahanya sebagai penjual nasi goreng.
"Gas melonnya sedang langka, setidaknya sampai kemarin, saya sebagai penjual warung makan merasakan kesulitan mencari gas sejak hampir 2 minggu yang lalu," kata Nugraha kepada detikJateng di Mojosongo, Minggu (1/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kelangkaan tabung gas melon itu, ia harus berkeliling hanya untuk mendapatkan satu tabung gas. Padahal, sehari ia membutuhkan 2 tabung gas melon untuk tiga kompor yang tersedia di tempat makannya.
"Jadi setiap mau jualan harus muter-muter dulu mencari gas ke pengecer. Paling cuma dapat satu," jelasnya.
Nugraha pun mengaku lebih sering membeli gas di warung ketimbang di pangkalan. Namun, saat mencari persediaan gas di pangkalan pun menurutnya juga terbatas.
"Paling ke pangkalan gas di desa, tapi itu juga kosong. Kalau ada itu sudah dipesan orang-orang yang akrab sama penjual pangkalannya, jadi ya ketar-ketir," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Siti (35) pedagang kwetiau di Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres. Ia juga merasakan kesulitan mencari gas di pangkalan sekitar rumahnya.
"Ada pangkalan, tapi stoknya terbatas jadi lebih sering untuk langganan. Kadang ikut antre dari pagi baru dapat siang," jelasnya.
"Tapi kan kita kalau pedagang butuhnya sehari satu, kalau di pangkalan dibatasi, jadi tetap kurang makanya tetap ke warung," sambungnya.
Ia menambahkan, jika membeli tabung gas 3 kg dari pengecer harganya terpaut jauh dari harga di pangkalan yang dijual Rp 15.000. "Harganya juga mahal, bisa sampai Rp 22 ribu," ungkapnya.
Kemudian Dwi (34), warga Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, juga sudah berkeliling ke tiga warung hari ini untuk mencari tabung gas melon, tetapi hasilnya nihil. Ia mengatakan, warung-warung besar yang biasanya menyediakan banyak gas pun kini kehabisan stok.
"Kalau hari ini nggak dapat ya nunggu besok. Tapi kayaknya langka di mana-mana, harganya juga naik," tuturnya kepada detikJateng, Minggu (1/9/2024).
Menurut Dwi, tabung gas melon yang biasanya seharga Rp 18.000 kini bisa mencapai Rp 25.000. Namun, dia juga menyadari bahwa stok yang dijual pangkalan resmi ke warung-warung memang dikurangi.
"Mahal banget bisa sampai Rp 25 ribu, tapi memang beda-beda harganya di tiap warung. Katanya sih karena dari pangkalan memang yang dijual ke warung itu dikurangi," jelasnya.
Selain itu, kelangkaan gas juga dirasakan oleh Intan (32), warga Jebres. Ia bahkan mengaku sudah merasakan gas langka sejak 2 bulan terakhir.
"Setiap keluar rumah jadi selalu bawa gas, kalau lihat ada toko yang sekiranya ada gas, berhenti," kata Intan.
Lebih lanjut, Intan mengatakan dirinya bahkan pernah membeli tabung gas melon hingga Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar. Padahal, selama ini Intan menggunakan gas hanya untuk kebutuhan sehari-hari.
"Biasanya beli di pengecer terus. Soalnya kalau ke pangkalan harus pakai KTP," jelasnya.
Tak hanya pedagang dan masyarakat, anak kos di daerah Jebres, yakni Rizky (23) juga merasakannya. Mahasiswa UNS itu mengatakan kelangkaan gas terjadi sejak adanya aksi massa tolak revisi UU Pilkada beberapa waktu lalu.
"Kalau aku ngerasanya setelah ada aksi kemarin. Karena mungkin timbul ketidakpastian, jadi ada mafia-mafia yang menimbun gas. Dugaanku saja sih, tapi pas banget setelah aksi sampai sekarang gas langka sekali," ujarnya.
"Harganya juga naik, di daerahku harganya jadi Rp 22 ribu padahal tadinya Rp 20 ribu," imbuh dia.
Menanggapi soal kelangkaan LPG 3 kg ini, Area Manager Communication, Relations, & CSR JBT PT Pertamina Patra Niaga Brasto Galih Nugroho menjelaskan, sesuai surat Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, penjualan di tingkat pengecer memang sudah dikurangi dari 20 persen menjadi 10 persen.
"Per 1 Juli 2024, pangkalan wajib mendistribusikan minimal 90 persen LPG 3 kg kepada konsumen terakhir. Sebelumnya, pangkalan sempat diwajibkan menjual gas LPG 3 kg sebanyak minimal 70-80 persen," ungkapnya.
"Kalau pangkalan misalnya mau 100 persen gas disalurkan untuk konsumen akhir dan nggak ada yang ke pengecer ya nggak masalah, nggak melanggar aturan," imbuhnya.
Hal ini diterapkan agar pangkalan bisa lebih melayani konsumen akhir sesuai harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp 15.500 per tabung, sesuai SK Gubernur Jateng. Oleh karenanya, warga diimbau untuk membeli gas dari pangkalan, bukan dari warung kelontong atau pengecer.
Sebab, persediaan gas ke pangkalan tidak mengalami penurunan maupun kenaikan harga. Sementara untuk harga di pengecer, hal itu menjadi kebebasan pengecer.
"Kami juga mengimbau agar rumah tangga tidak miskin, usaha non-mikro menggunakan LPG non-subsidi. Pertamina punya LPG 5,5 kg, 12 kg, dan 50 kg untuk rumah tangga tidak miskin dan usaha yang tidak berhak menggunakan LPG subsidi," paparnya.
Adapun usaha yang dilarang menggunakan gas LPG subsidi, yakni restoran, hotel, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha tani tembakau, usaha jasa las, usaha laundry, dan usaha batik.
(cln/cln)