Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40% dan maksimal 75%. Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Solo, Joko Sutrisno, kenaikan pajak itu dinilai memberatkan.
"Saat ini liburan keluarga itu cenderung ke wisata, bukan hiburan malam. Itu (hiburan malam) sekarang cenderung didominasi anak muda, dan sebelumnya beberapa tempat kan 30 persen seperti Solo dan lain-lainnya. Nah ini dengan dinaikkannya menjadi sampai dengan 75 persen itu ya sangat, sangat, sangat berat," kata Joko saat dihubungi awak media, Senin (15/1/2024).
Joko mengatakan, ada beberapa tempat hiburan di Solo yang gulung tikar saat masa pandemi COVID-19. "Setelah ada aturan baru ini ya semakin berat lagi. Akan berguguran nanti satu demi satu kalau itu diterapkan secara murni," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Joko, pajak hiburan untuk spa, karaoke, pub, dan diskotek memang sudah tinggi. Dengan adanya kenaikan pajak hiburan ini, dia berujar, bisnis hiburan yang sudah lesu akan menjadi semakin kesulitan.
"Ini kan bergejolak semua ya karena memang trennya itu sudah turun sekarang, hiburan malam. Seperti kita lihat di beberapa tempat di Salatiga, beberapa tempat di Semarang itu gulung tikar. Apalagi dengan sistem pajak baru ini," ujar dia.
Secara terpisah, General Manager HARRIS POP! Hotel & Conventions Solo, Erwin James berharap pemerintah lebih cermat dalam menerapkan aturan tersebut.
"Saya kira pemerintah harus benar-benar cermat yang namanya menerapkan aturan tersebut. Jadi, karena saya kebetulan sudah pernah menghadap ke BPKD terkait dengan aturan tersebut. Karena boleh dikatakan kalau memang peraturan tersebut mau diterapkan, harus terpisah antara yang namanya hotel dan independen spa," kata Erwin kepada awak media di acara ulang tahun POP! Hotel Solo, Senin (15/1/2024).
Menurut Erwin, kenaikan pajak hiburan bisa diterapkan kepada tempat hiburan independen, atau tempat hiburan yang dikelola pihak ketiga. Jika hotel yang mengelola fasilitas tempat hiburan juga dikenakan kenaikan pajak hiburan, Erwin berujar, hal itu akan berimbas pada pendapatan hotel.
"Yang namanya di hotel, gym, kolam renang, dan spa itu kan menjadi salah satu syarat fasilitas hotel. Nah kalau diterapkan pajak yang baru, yang dalam hal ini kalau nggak salah antara 40 persen sampai 75 persen, ya waktu itu saya sampaikan kita bisa saja menerapkan hal tersebut ke tamu. Tetapi risikonya adalah tidak ada penjualan," ucap Erwin.
"Kalau tidak ada penjualan otomatis nggak ada pajak yang bisa kita bayarkan. Jadi minta kepada pemerintah agar hal ini tidak disamaratakan semuanya. Karena pada dasarnya pada saat kita bikin hotel terutama hotel bintang 4, salah satu syarat kan ada tempat kebugaran ada kolam renang, terus ada spa-nya juga," sambung dia.
Erwin menambahkan, tempat hiburan yang ada di HARRIS POP! Hotel & Conventions Solo selama ini dikelola sendiri sebagai fasilitas penunjang kenyamanan pengunjung yang menerapkan pajak sebesar 10 persen.
"Dalam hal ini mungkin harus dipisahkan antara hotel yang punya spa, karena ada hotelnya hanya menyediakan tempat, tapi pengelolaan spa-nya oleh pihak ketiga. Nah kita tidak, kita semuanya dewe, sendiri," kata dia.
"(Pajak sebelumnya) 10% jadi sama yang kita terapkan sama seperti pajak hotel, karena spa-nya di situ jelas bahwa sebagai penunjang fasilitas kenyamanan tamu, jadi bukan spa-independen. Masih jadi polemik kok itu," ujar Erwin.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Dilansir detikNews, Senin (15/1), pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40% dan maksimal 75%. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan sudah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait PBJT yang naik itu.
"Jadi saya sudah berkomunikasi dengan Ibu Menkeu memang pada saat saya di Bali kemarin juga sama. Jadi di daerah turis seperti Labuan Bajo, Mandalika, dan Bali keluhannya sama yaitu pajak 40%," kata Airlangga di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Senin (15/1/2024), dikutip dari detikNews.
Airlangga mengatakan sebenarnya kenaikan pajak untuk jasa hiburan seperti karaoke, diskotek, kelab malam, bar sampai spa ada aturan masing-masing. Ia tak menyebut bakal ada revisi terkait aturan itu, Airlangga mengatakan dalam UU HKPD (Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) sudah mengatur solusinya.
"Tetapi di dalam UU HKPD ada pasal 11, pasal 11 itu bisa mengecualikan daerah dengan tentunya usulan dari pemda apakah itu bupati ataupun gubernur jadi sebetulnya bisa dikecualikan," ungkapnya.
Menurut Airlangga, kenaikan pajak 40-75% bagi penyedia jasa hiburan bisa dikecualikan. Ia menyebutkan pemerintah daerah mengerti apa saja pengecualian di pajak barang dan jasa yang dimaksud oleh pihaknya.
"Revisi nanti saja, tapi UU itu sendiri sudah memberikan jalan keluar sehingga perlu sosialisasi. Jadi tidak mutlak diterapkan 40 persen tergantung local wisdom namanya hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah," ujar Airlangga.
"Daerah yang mengerti makanya daerah bisa memutuskan dengan pengecualian di pasal tersebut," sambungnya.
Sebelumnya, PBJT ini ramai dibicarakan. Besarannya yang mencapai angka paling rendah 40% dan maksimal 75% ramai ditanggapi publik. Salah satunya berasal pengacara kondang Hotman Paris Hutapea.
Berdasarkan catatan detikcom, Hotman mengatakan besaran pajak sebesar 40% sampai 75% bisa mengancam kelangsungan industri pariwisata Indonesia.
"What? 40 s.d 75 persen pajak?? What?? OMG. (Kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam)," tulis Hotman Paris di akun Instagram pribadinya, @hotmanparisofficial.