Buruh di Jawa Tengah mengaku kecewa terhadap keputusan mengenai UMP 2024 yang hanya naik 4,02% dibanding tahun ini. Mereka menyebut dasar penghitungan dibuat hanya untuk mengakali buruh.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Jawa Tengah, Nanang menyatakan kenaikan UMP 4,02 persen di Jateng hanya menguntungkan pengusaha. Maka ia berharap setidaknya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2024 yang akan dipakai di seluruh daerah di Jateng bisa lebih baik.
"Melihat nilai UMP yang ditetapkan Pj Gubernur, kami tentunya sangat kecewa dan kami tidak puas karena di situasi ekonomi kebutuhan hidup yang meningkat, kalau UMP di Jateng hanya sebesar Rp 2 juta sekian itu atau 4 persenan itu sangat kurang kalau melihat kebutuhan masing-masing buruh. Berharap UMK ditetapkan kurang lebih naik 11 persen. Ambil angka pertumbuhan ekonomi dan inflasinya," jelas Nanang, Kamis (23/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyebut soal keganjilan dalam penetapan UMP Jateng 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, tentang Pengupahan.
"Di PP 51 di balik, ditetapkan rumusan berdasarkan inflasi pertumbuhan ekonomi dalam kurung kali indeks tertentu atau alfa. Di situ berubah makna dengan UU Ciptaker. Sehingga kami minta Pj Gubernur Jateng dalam menerapkan UMK kembali ke UU Ciptaker. Pertumbuhan ekonomi tambah inflasi dikali alfa. Di PP 51 yang dikalikan pertumbuhan ekonomi, ini ngakali buruh," tegasnya.
Berbeda dengan buruh, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jateng menyebut menerima keputusan tersebut.
"Saya pikir ini sudah keputusan yang bagus. Di sisi pelaku usaha dan para pekerja ini merupakan yang sudah bagus, jadi para pelaku usaha ini saya pikir pasti bisa menerima," kata Ketua Kadin Jateng Harry Nuryanto saat ditemui di kantornya, Kamis (23/11).
Keputusan Pj Gubernur Jateng untuk kenaikan UMP Jateng 2024, lanjut Harry, sudah ada rumus yang dikaji dengan baik. Selain itu dengan keputusan yang ada, pelaku usaha dan investor bisa mulai memprediksi biaya produksi yang akan dikeluarkan.
"Saya pikir ini kan sudah ada rumusnya peraturan pemerintah atau turunan dari UU Ciptaker dan peraturan pemerintah nomor 51, itu sudah dikaji dengan baik. Jadi rumus itu dengan adanya inflasi, adanya pertumbuhan ekonomi dan alfa sudah merupakan rumus yang pas. Jadi memang prediksi-prediksi itu bisa dipegang oleh para investor atau para pelaku usaha, untuk bisa menghitung biaya produksi yang ada dilakukan," ujar Harry.
"Perlu digarisbawahi angka ini kan bukan untuk yang sudah bekerja tapi untuk yang mau masuk atau yang belum punya pengalaman. Jadi kalau yang sudah kerja otomatis menyesuaikan, saya pikir perusahaan dalam hal ini yang sudah lama bekerja naiknya sesuai dengan kemampuan mereka," imbuhnya.
(ahr/rih)