Berawal dari hobi memelihara ular piton, Didit Marsanto (29), warga Lingkungan Belik RT 2 RW 11 Kelurahan Pracimantoro, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, kini menjadi peternak ular piton. Seberapa untungnya?
"Setelah lulus SMA saya beli ular ke pengepul. Dulu beli satu ekor, jantan, Rp 50 ribu. Kemudian saya mencari komunitas di media sosial. Awalnya hanya hobi, tidak berpikir bisnis," kata Didit saat ditemui detikJateng di rumahnya, Senin (28/3/2022).
Setelah ular yang dibeli itu besar, Didit menyayangkan jika ular itu dijual. Kemudian dia mencari ular betina agar bisa berkembang biak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didit mengatakan, musim kawin ular itu terjadi sekali dalam setahun, yaitu pada Mei-Juli. Setelah kawin, 2-3 bulan berikutnya terjadi ovulasi. Kemudian, 3 bulan selanjutnya atau akhir tahun, ular mulai bertelur.
"Setelah bertelur itu masa inkubasi. Proses inkubasi ini saya lakukan sendiri, dipisahkan dari induknya. Telur diambil dan ditaruh ke wadah kotak, bisa dari kulkas bekas yang dimodifikasi, dengan suhu 28Β°-31Β°. Proses inkubasi dari telur keluar hingga menetas itu butuh waktu tiga bulan," ungkapnya.
Saat kali pertama mencoba mengawinkan ular, Didit mengaku pernah gagal. Saat itu ada 50 telur ular yang keluar dari induknya. Namun, yang menetas hanya tiga telur. Kegagalan itu sebagian besar terjadi saat proses inkubasi.
Didit mengaku baru berhasil mengawinkan ular sekitar tiga tahun lalu. Hasil yang diperoleh kali itu sudah lumayan. Namun, dari 50 telur yang keluar tidak semuanya bisa menetas. Dari jumlah itu pasti ada satu atau dua telur yang gagal menetas.
"Kalau sempurna sangat sulit. Entah dari gennya kurang kuat, cacat saat inkubasi, dan lain-lain. Betina dan jantan dicampurkan belum tentu kawin. Kawin belum tentu bertelur. Bertelur belum tentu menetas. Menetas belum tentu hidup," katanya.
Didit kali pertama menjual ular pada 2018. Saat itu ia hanya menjual tiga ekor ular dari proses kawin pertama. Rata-rata ular yang dijual belum berumur lama. Harga jual ular bayi itu berkisar Rp 100-150 ribu atau lebih, tergantung jenisnya.
"Saya menjualnya lewat media sosial. Kemudian dipaketkan ke alamat pembeli. Kalau yang ramai pasarannya Solo Raya dan Yogyakarta. Tapi pernah juga sampai Bali dan Sumatera," paparnya.
Kini Didit punya 43 ekor ular yang terdiri dari 6 ekor indukan betina, 4 ekor indukan jantan, sisanya ular yang masih kecil. Semua ular itu berjenis sanca kembang. Hanya saja corak dan motif kulitnya berbeda. Hal itu juga mempengaruhi harga jual.
Ular sebanyak itu diberi makan ayam. Untuk ular besar atau indukan diberi makan tiga ekor dalam waktu satu bulan sekali. Sedangkan untuk ular kecil diberi makan setiap 10 hari sekali. Makanannya berupa tikus putih dan disambung dengan kepala ayam.
"Dalam satu bulan untuk operasional semua ular habis sekitar Rp 500.000. Siklus ular kan makan, kemudian kencing, mengeluarkan kotoran putih, lalu keluar kotoran hitam, dan makan lagi," kata Didit.
Selama berternak ular, Didit mengaku kerap digigit. Namun, menurut dia hal itu cukup wajar, terlebih yang menggigit ular berukuran kecil. Ular yang dia ternak juga tidak berbisa.
"Ya ini sebagai hobi yang menjanjikan bagi saya. Sejauh ini belum rugi. Paling bagus dapat Rp 4 juta. Tapi ular yang saya jual ini kan kelasnya standar, tidak bagus-bagus," kata Didit.
(dil/sip)