Aktivis Perempuan Gelar Aksi di CFD Semarang, Soroti AI dalam Kasus Pelecehan

Aktivis Perempuan Gelar Aksi di CFD Semarang, Soroti AI dalam Kasus Pelecehan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 07 Des 2025 12:44 WIB
Aktivis Perempuan Gelar Aksi di CFD Semarang, Soroti AI dalam Kasus Pelecehan
Suasana aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di CFD Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Minggu (7/12/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Aliansi aktivis perempuan di Jawa Tengah menggelar aksi kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) di Car Free Day (CFD) Kota Semarang, Kecamatan Semarang Selatan. Mereka menyoroti kecerdasan buatan (AI) yang belakangan kerap digunakan sebagai alat dalam kasus pelecehan seksual.

Pantauan detikJateng di Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, puluhan aktivis perempuan dari berbagai organisasi datang membawa berbagai poster dan membacakan tuntutan di tengah kerumunan warga.

Mereka membentangkan spanduk besar bertuliskan 'Perempuan Punya Hak: Tentukan Masa Depan dan Hidup yang Diinginkan', 'Menggalang Keberanian Menautkan Kekuatan Perempuan', hingga 'Aman Itu Hak, Kekerasan Itu Pelanggaran'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur LRC KJHAM, Witi Muntari mengungkap fenomena baru dalam kasus pelecehan seksual belakang. AI disebut kerap disalahgunakan, sebagai alat pelecehan. Hal itu menambah tantangan baru yang belum mendapatkan perhatian masyarakat luas.

ADVERTISEMENT

"Berbagai laporan dari aktivis, pendamping korban, dan organisasi masyarakat menegaskan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi antarmahasiswa atau mahasiswa dengan dosen, tetapi juga meluas pada ranah teknologi dengan adanya pelecehan melalui kecerdasan buatan Artifical Intelligence (Al)," kata Witi di CFD Semarang, Minggu (7/12/2025).

Ia juga mengungkapkan, kekerasan terhadap perempuan di Jateng saat ini masih tinggi. Sepanjang 2024, pihaknya mencatat ada 102 kasus, dengan 81 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual.

"Kasusnya naik turun, tetapi satu kasus pun adalah pelanggaran HAM perempuan. Pemerintah harus memenuhi hak-hak korban," kata Witi.

Ia menyebut, pola kekerasan masih sama, yakni mayoritas pelaku adalah orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah tiri, pasangan, hingga tetangga. Selain itu, kasus kekerasan seksual berbasis elektronik dan femisida masih muncul sepanjang tahun.

"Kalau 2025, kasusnya kemarin bulan Juli itu sekitar 50 apa 60 kasus ya. Tetapi nanti kita akan diskusi di tanggal 10 Desember," jelasnya.

Menurut Witi, tantangan terbesar saat ini berada di penegakan hukum. Pasalnya, beberapa kasus kekerasan seksual tidak langsung mendapat penanganan aparat penegak hukum.

"Beberapa kasus kekerasan seksual dengan korban dewasa masih tersendat di penyidikan. Masih ada anggapan 'suka sama suka', padahal ada relasi kuasa atau bujuk-rayu," jelasnya.

Melalui aksi pagi ini, puluhan perempuan di Semarang itu pun berharap masyarakat semakin berani bersuara saat melihat atau mengalami kekerasan.

"Harapannya publik sadar bahwa kekerasan terhadap perempuan itu nyata dan masih terjadi. Korban perlu didukung untuk speak up," tegas Witi.

Perwakilan Barapuan, Arvika, mengatakan aksi itu diinisiasi Aliansi Jaringan Perempuan Jateng dan diikuti beragam elemen, mulai dari mahasiswa, organisasi perempuan, komunitas buruh, Walhi Jateng, LBH Semarang, hingga Barapuan. Aksi dilakukan untuk mengingatkan publik bahwa kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi.

"ini berasal dari keresahan dari kawan-kawan, kita memiliki keresahan yang sama. Per hari ini masih kental budaya patriarki yang akhirnya mengakibatkan diskriminasi terhadap gender," kata Arvika.

Arvika menjelaskan, ada enam tuntutan yang dibawa dalam aksi tersebut. Mulai dari memperkuat implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), menyediakan ruang aman dan inklusif bagi perempuan di semua bidang, melibatkan perempuan secara bermakna dalam perencanaan dan pembangunan.

"Memperkuat perspektif aparat penegak hukum dalam penanganan kekerasa seksual, memberikan perlindungan bagi korban kekerasan yang memiliki kerentanan berlapis, perempuan pekerja seks, penyandang disabilitas, dan keragaman seksual identitas gender," urainya.

Suasana aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di CFD Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Minggu (7/12/2025).Suasana aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di CFD Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Minggu (7/12/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Dan memastikan perlindungan perempuan di sektor lingkungan dan pesisir yang terancam konflik sumber daya alam dan perubahan iklim," lanjutnya.

Ia menyebut keresahan yang paling sering muncul adalah kuatnya budaya patriarki yang membuat diskriminasi gender terus terjadi. Isu yang dibawa kali ini juga lebih menyoroti kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan rentan.

"Memang fokus isunya kami berusaha untuk inklusif dan mengawal berbagai isu yang saat ini berkembang, terkait pejuang lingkungan, nelayan di pesisir dan lain-lain sebagainya," tuturnya.

Ia menyoroti, dalam sektor pekerjaan, lanjutnya, perempuan pekerja media dan buruh kerap menghadapi tekanan ganda berupa tuntutan penampilan dan stigma yang membuka resiko kekerasan yang besar.

"Di lingkungan pesisir, perempuan menjadi korban utama dampak perubahan lingkungan, seperti banjir rob dan perampasan ruang hidup, tanpa adanya perlindungan yang memadai," jelasnya.

"Catatan penting juga datang dari perjalanan panjang para penyintas kekerasan politik pasca 1965 yang hingga kini masih menyimpan trauma mendalam tanpa adanya jaminan perlindungan, pengungkapan fakta, atau keadilan," lanjutnya.




(apu/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads