Perjanjian Salatiga yang digelar pada awal paruh kedua abad 18 membuat sebagian wilayah Kasunanan Surakarta dialihkan kepada Kadipaten Mangkunegaran. Bagaimana sejarahnya?
Singkatnya, perundingan yang terjadi tanggal 17 Maret 1757 itu ditandatangani di Gedung Pakuwon, Jalan Brigjen Sudiarto Nomor 1, Salatiga, Jawa Tengah. Pihak-pihak yang berunding adalah Pangeran Sambernyawa, Paku Buwono III, VOC, dan perwakilan dari Kasultanan Ngayogyakarta.
Melalui perjanjian ini, konflik berkepanjangan yang terjadi di tubuh internal Kerajaan Mataram Islam resmi berakhir. Sebagaimana kita ketahui bersama, sepeninggal Sultan Agung yang legendaris, kejayaan Mataram Islam perlahan-lahan menurun, terlebih dengan ikut campur tangannya VOC.
Perjanjian Salatiga menjadi saksi bisu akhir dari bentrokan internal para pangeran keturunan Mataram Islam yang memperebutkan tahta. Berikut uraian lengkap latar belakang, isi, dan dampak Perjanjian Salatiga.
Poin Utamanya:
- Perjanjian Salatiga berakar dari konflik internal lama para pangeran Mataram Islam yang berebut kekuasaan.
- Perjanjian Salatiga mengukuhkan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran. Wilayahnya diambilkan dari Kasunanan Surakarta.
- Dampak Perjanjian Salatiga adalah mengakhiri perang berkepanjangan. Juga membuat Kasunanan Surakarta kehilangan sebagian daerahnya.
Latar Belakang Perjanjian Salatiga 1757
Ketika membicarakan Perjanjian Salatiga, satu nama tidak boleh dilewatkan, yakni Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said. Kini, sosoknya dikenal sebagai pendiri Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara 1.
Diringkas dari tulisan ilmiah bertajuk 'Perlawanan Raden Mas Said Terhadap Belanda di Mataram Tahun 1742-1757' tulisan Tahrir Musthofa dkk, Raden Mas Said lahir di Keraton Kartasura, ibu kota Mataram Islam, pada 7 April 1725. Ayahnya adalah Pangeran Arya Mangkunegara, sedangkan ibunya Raden Ajeng Wulan.
Seharusnya, jika mengikuti suksesi penurunan gelar kerajaan, ayah Raden Mas Said sebagai anak tertua Amangkurat IV berhak menjadi raja. Namun, akibat campur tangan Belanda, yang naik tahta menggantikan Amangkurat IV justru adiknya, Pangeran Prabasuyasa. Ia digelari Paku Buwono II.
Menurut informasi dari Dinas Kebudayaan DIY, Pangeran Arya Mangkunegara dibuang ke Srilanka oleh VOC karena sering menentang dan meninggal dunia di sana. Luka ini membekas di hati Raden Mas Said. Faktor inilah yang kemudian menyebabkan Pangeran Sambernyawa memberontak.
Semasa memerintah, Paku Buwono II menghadapi banyak pemberontakan. Salah satunya dilakukan oleh Sunan Kuning yang diketahui bekerja sama dengan Raden Mas Said. Keduanya bekerja sama selama rentang 1741-1742 menurut informasi dari Jurnal SHES berjudul 'Konsep Kepemimpinan Raden Mas Sahid dan Aplikasinya di Zaman Modern' oleh Bani Sudardi.
Paku Buwono II sempat mengutus Pangeran Mangkubumi, saudaranya, untuk mengatasi Pangeran Sambernyawa. Alih-alih menjalankan tugas, Pangeran Mangkubumi justru bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk melawan Paku Buwono II.
Beralihnya Pangeran Mangkubumi disebabkan Paku Buwono II yang ingkar janji. Sebelumnya, raja Mataram Islam itu menjanjikan tanah lungguh sebesar 3.000 cacah kepada siapa saja yang bisa mengalahkan Raden Mas Said. Kendati berhasil mengalahkan Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi tidak mendapatkan imbalan yang semestinya.
Pada 20 Desember 1749, Paku Buwono II wafat. Kekosongan pemimpin dimanfaatkan Pangeran Mangkubumi untuk memahkotai dirinya sebagai raja baru Mataram Islam. Hal ini tidak diterima VOC yang kemudian mengangkat Raden Mas Soerjadi (putra Paku Buwono II) sebagai Paku Buwono III.
Akibatnya, Pangeran Mangkubumi bersama Pangeran Sambernyawa meneruskan perlawanan terhadap VOC dan Paku Buwono III. Singkat cerita, perlawanan keduanya berhenti karena VOC menjalankan politik adu domba.
Pangeran Mangkubumi sepakat mengakhiri perlawanan karena dijanjikan tanah kekuasaan lewat Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Lewat perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
Kehilangan Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said tidak gentar dan terus melanjutkan perlawanan. Ia berjuang selama kurang lebih 5 tahun, terhitung dari 1752-1757, melawan Paku Buwono III, VOC, dan Sultan Hamengku Buwono 1.
Pada tahun 1757, karena kewalahan dengan keahlian perang Pangeran Sambernyawa dan pasukannya, Belanda berusaha membuat perundingan. Begitu pula sebaliknya, Pangeran Sambernyawa tidak mampu mengatasi ketiganya sekaligus.
Dilihat dari situs resmi Kadipaten Mangkunegaran, perjanjian tercipta antara Paku Buwono III dan Pangeran Sambernyawa. Hadir pula Patih Danurejo sebagai perwakilan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.
Perjanjian yang digelar pada 17 Maret 1757 itu dikenal sebagai Perjanjian Salatiga.
Isi Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757
Dilihat dari laman resmi Museum Pendidikan Nasional, isi Perjanjian Salatiga adalah:
- Raden Mas Said/Pangeran Sambernyawa diangkat menjadi Pangeran Miji. Pangeran Miji adalah pangeran yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa.
- Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di singgasana.
- Pangeran Miji berhak menyelenggarakan acara penobatan adipati dan memakai semua perlengkapan adipati.
- Tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana.
- Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar.
- Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
- Raden Mas Said menerima tanah lungguh seluas 4.000 karya yang meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan. Sekarang, wilayah-wilayah itu mencakup Banjarsari, Karanganyar, Wonogiri, Ngawen, dan Semin.
Dampak Perjanjian Salatiga 1757
Adora Kinara dalam buku Pangeran Mangkubumi: Sebuah Sejarah Ringkas menjelaskan dampak Perjanjian Salatiga adalah berakhirnya peperangan jangka panjang di Jawa. Akibatnya, stabilitas keamanan yang sudah lama tiada, kembali dirasakan.
Dampak lainnya adalah terbentuknya Kadipaten Mangkunegaran yang berada di dalam wilayah Kasunanan Surakarta. Meski berada di bawah bayang-bayang Keraton Solo, Mangkunegaran bersifat otonom dan punya tata administrasi sendiri. Pangeran Sambernyawa-lah yang menjadi adipati pertamanya dengan gelar KGPAA Mangkunegara I.
Riwayat Kerajaan Mataram Islam yang sudah berakhir sejak Perjanjian Giyanti tahun 1755, semakin dipecah lagi dengan Perjanjian Salatiga. Bukan lagi terbagi 2, tetapi 3. Selang beberapa puluh tahun kemudian, Kasultanan Ngayogyakarta juga diambil sebagian wilayahnya untuk mendirikan Kadipaten Pakualaman.
Dampak Perjanjian Salatiga lainnya adalah terbentuknya kebudayaan baru. Meski merupakan pecahan Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran punya karakteristik sendiri. Contohnya, jumlah penari bedaya Mangkunegaran hanya 7, bukan 9 seperti Kasunanan Surakarta.
Demikian uraian lengkap mengenai sejarah Perjanjian Salatiga tahun 1757, mulai dari latar belakang hingga dampaknya. Semoga menambah wawasan detikers, ya!
Simak Video "Siap-siap "War" Tiket Indonesia Vs Argentina Segera Dimulai"
(sto/afn)