Tugas sekolah membuat kliping kini tak marak lagi tapi masih ada. Selama itu pula Mbah Harsoyo masih menjadi pembuat kliping. Mbah Harsoyo (76), warga Kelurahan Sondakan, Solo, memiliki pekerjaan yang kini mungkin sudah sangat langka, yaitu pembuat kliping.
Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama puluhan tahun. Dulunya menjadi pembuat sekaligus penjual kliping menjadi pekerjaan utama. Kini, sudah semakin sedikit orang yang membutuhkan jasanya. Pekerjaan langka itu kini tinggal menjadi selingan.
Kala ditemui detikJateng di rumahnya, Mbah Harsoyo tidak berkutat dengan kertas koran. Tangannya malah sibuk membetulkan kipas angin rusak milik salah satu pengguna jasanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjadi seorang tukang service elektronik kini menjadi pekerjaan utamanya. Namun, dia masih menjadi pembuat kliping. Sesekali masih ada orang yang membutuhkannya.
Mbah Harsoyo bercerita awal mula dia bekerja menjadi pembuat kliping. Dulu, anaknya mendapat tugas sekolah untuk membuat kliping. Harsoyo membantu, dan ternyata teman-teman anaknya ikut meminta dibuatkan juga. Dari situlah ide berjualan kliping muncul.
"Awalnya bikin buat tugas anak, terus ternyata bagus, temen-temennya banyak yang ikut pesen. Akhirnya saya terusin sampai sekarang," ujarnya sambil duduk di kursi panjang belakang gerobak kliping miliknya.
Mbah Harsoyo pembuat kliping di Solo. Foto: Ajril L Zahroh/detikJateng |
Hasilnya ternyata cukup menjanjikan. Apalagi waktu itu tugas sekolah maupun kuliah membuat kliping sangat marak. Banyak orang membutuhkan jasanya. Lapaknya yang saat itu digelar di kawasan Purwosari ramai dicari orang.
Pekerjaan itu memang tidak terlampau sulit. Dia tinggal mengumpulkan koran, mengguntingnya lalu kemudian dikumpulkan dengan dikelompokkan sesuai tema berita atau artikel dengan dimasukkan dalam amplop dari karton. Hal itu memudahkannya untuk mencari saat ada konsumen yang membutuhkan kliping dengan tema tertentu.
"Kalau tema tata surya, fermentasi, prestasi, pancasila, hukum, advokat, pidana, perdata," katanya.
Menjadi Pemburu Koran
Di masa lalu, pekerjaan membuat kliping terkesan mudah. Mbah Harsoyo bisa mendapatkan koran bekas untuk membuat kliping dari banyak orang. Namun, kini zaman sudah berubah. Koran sudah semakin langka.
"Orang sekarang malas baca koran. Semua dari HP," ujarnya sambil menghela napas.
Dia lantas memutar otak untuk tetap bisa mendapatkan koran bekas. Dia memanfaatkan beberapa kenalannya yang bekerja sebagai cleaning service di hotel-hotel. Sebab hingga kini masih banyak hotel yang berlangganan koran untuk disediakan di kamar-kamar.
Siasat itu rupanya cukup jitu. Hingga kini dia masih bisa mendapatkan bahan baku untuk karyanya itu. Biasanya, petugas cleaning service langganannya menyetor koran-koran bekas setiap dua pekan.
Mbah Harsoyo pembuat kliping di Solo. Foto: Ajril L Zahroh/detikJateng |
Kliping Dijamin Awet
Ada ratusan atau bahan ribuan kliping yang tersimpan di gerobak yang ada di rumah Mbah Harsoyo. Sebagian guntingan baru, namun ada pula yang sudah tersimpan bertahun-tahun.
Potongan kliping milik Mbah Harsoyo yang tersimpan masih tampak bersih dan utuh. Tidak berjamur, tidak lapuk, dan hanya sedikit lecek.
Rupanya Mbah Harsoyo memiliki teknik agar barang dagangannya tetap awet meski sudah bertahun-tahun tak laku.
"dikasih formalin dikit biar awet. Jadi korannya nggak cepat rusak. Nanti kalau lecek biasanya disetrika lagi sama pembeli," jelasnya sambil menunjukkan potongan-potongan koran kliping dalam amplop di gerobaknya.
Untuk kliping yang sudah disusun dalam bentuk buku, Harsoyo bahkan menambahkan daftar isi dan pembagian tema. Buku kliping bertema resep masakan, misalnya, bisa berisi hingga dua puluh resep lengkap.
Harga jualnya bervariasi. Satu buku kliping dijual mulai Rp 70 ribu hingga Rp 120 ribu, tergantung kesulitan temanya. Sedangkan potongan kliping per amplop dibanderol mulai dari Rp 5.000 tergantung pada banyaknya isi.
"Kalau tema tata surya, fermentasi, prestasi, pancasila, hukum, advokat, pidana, perdata, itu susah. Jadi harganya lebih mahal," katanya.
Di masa keemasannya, pelanggan Pak Harsoyo sangat beragam, dari siswa sekolah, mahasiswa, guru, hingga ASN. Pendapatan hariannya dulu bisa melampaui Upah Minimum Regional (UMR) Solo. Namun, kini ia hanya bisa berharap pendapatannya "cukup untuk kebutuhan makan harian saja."
Penurunan drastis ini adalah dampak nyata dari disrupsi digital dan, yang lebih penting, perubahan kurikulum pendidikan. Harsoyo melihat, semenjak kurikulum tidak lagi mewajibkan tugas kliping bagi siswa sekolah permintaan pun merosot tajam.
"Mulai tahun 2012, kurikulum sering ganti, anak sekolah jarang disuruh bikin kliping, sudah nggak ada tugas bikin kliping di kurikulum," ucapnya.
Pesanan kliping masih datang, terutama dari calon ASN atau mahasiswa yang masih diwajibkan membuat kliping untuk tes atau tugas akhir. Namun, permintaan dari siswa menengah kini mulai jarang.
Artikel ini ditulis oleh Ajril Lu'lu'a Zahroh peserta Program PRIMA Magang Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)













































