Polda Jawa Tengah (Jateng) menyatakan dua oknum anggota polisi Pekalongan yang dilaporkan karena kasus penipuan dengan modus menjanjikan kelulusan dalam seleksi penerimaan Akpol telah dikenai sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Kabid Propam Polda Jateng Kombes Saiful Anwar menjelaskan kedua oknum polisi Pekalongan itu, yakni Aipda Fachrorurokhim (F) dan Bripka Alexander Undi (AU), telah menjalani sidang etik pada Jumat (31/10/2025) lalu.
"Anggota Polri yang diduga melakukan pidana penerimaan masuk Akpol, kita lakukan proses dan sudah kita sidangkan. Kita sudah putuskan dia patsus (penempatan khusus) 30 hari, perbuatan tercela, dan PTDH," kata Saiful di Mapolda Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Rabu (5/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saiful mengatakan, hal yang memberatkan dalam sidang tersebut yakni kedua oknum tersebut sadar saat melakukan tindakan tersebut.
Ungkap kasus oknum polisi Pekalongan yang menipu dengan modus menjanjikan seleksi masuk Akpol, di Mapolda Jateng, Semarang, Rabu (5/11/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng |
"Dan (perbuatannya) salah karena menjanjikan masuk penerimaan Akpol. Korban sementara satu aja," ungkapnya.
Dirreskrimum Polda Jateng, Kombes Dwi Subagio mengatakan, kasus itu bermula sejak Desember 2024 hingga 11 April 2025 di Kabupaten Pekalongan dan Kota Semarang. Ada empat tersangka kasus tersebut, yaitu dua oknum polisi tersebut dan dua warga sipil yaitu Stephanus Agung Prabowo (SAP) dan Joko Witanto.
Dwi menjelaskan, para tersangka mengaku bisa meloloskan anak korban yang hendak masuk Akpol dengan syarat membayar Rp 3,5 miliar. Korban kemudian terperdaya karena tersangka mengaku sebagai adik Kapolri, sehingga korban memberikan uang Rp 2,6 miliar.
"Tersangka SAP dia mengaku sebagai adiknya Kapolri, tapi berdasarkan hasil penelitian, tidak ada kaitannya sama sekali. Yang bersangkutan menggunakan nama pimpinan untuk meyakinkan ke korban dia bisa dapat kuota (di Akpol)," ungkapnya.
"Kami menangkap empat pelaku, dengan pasal penipuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP. Para tersangka kini ditahan," lanjutnya.
Dwi mengatakan, tersangka Joko Witanto yang disebut sebagai dalang kasus tersebut memiliki beberapa identitas palsu. Joko yang bekerja sebagai driver itu kerap mengatakan kenal dengan para pejabat dan anggota TNI-Polri.
"Ditunjukkan foto semua dan punya lencana BIN, Badan Penelitian Aset Negara, KTA TNI, palsu semua. Modusnya menggunakan identitas palsu dan pakai foto dengan para pejabat untuk meyakinkan dia dekat dengan pejabat," ungkapnya.
"Dia aktor utama. Yang bersangkutan menerima dan menikmati Rp 2,05 miliar. Sementara tersangka F anggota polri yang menyebarkan informasi dan penghubung pelaku dan korban," lanjutnya.
Sementara itu tersangka Alexander bekerja sama dengan tersangka Stephanus dan Joko yang menerima uang tunai dari korban. Ia menikmati Rp 200 juta dari kasus itu.
Sebelumnya diberitakan, Polda Jawa Tengah (Jateng) menyelidiki kasus penipuan dengan modus menjanjikan kelulusan dalam seleksi penerimaan Akpol yang menyeret dua anggota polisi Pekalongan.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto mengatakan, kasus ini bermula dari laporan seorang warga Pekalongan bernama Dwi yang merasa tertipu. Terdapat empat orang yang dilaporkan, dua di antaranya merupakan oknum polisi dan dua lainnya warga sipil.
"Kasus ini melibatkan empat orang pelaku yang terdiri dari dua oknum anggota Polri dan dua orang dari masyarakat sipil," kata Artanto di Mapolda Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Kamis (23/10/2025).
Ia mengungkapkan, para pelaku itu membujuk korban untuk membayar dengan mengiming-imingi akan meloloskan anaknya.
"Satu berinisial F, Aipda di Polsek Polres Pekalongan. Kemudian berinisial AU ini Bripka, berdinas di Polres Pekalongan. Mereka membujuk rayu supaya korban memberikan sejumlah uang sesuai dengan janji mereka," ungkapnya.
Pengakuan Korban
Diberitakan sebelumnya, korban bernama Dwi Purwanto (42) yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu menceritakan, kasus ini berawal pada Desember 2024, saat dirinya mendapat pesan WhatsApp dari seorang anggota polisi yang sudah dia kenal lama bernama F alias Rokhim, yang menawarkan bantuan agar anaknya bisa masuk Akpol dengan membayar sejumlah uang.
"Saudara Rokhim datang ke rumah seperti menyampaikan kepada saya dengan biaya yang harus diselesaikan senilai Rp 3,5 miliar, dengan skema pembayaran Rp 500 juta sebagai tanda keseriusan dan kekurangannya diselesaikan setelah Panpus," kata Dwi kepada wartawan, Rabu (22/10/2025).
Pada 21 Desember, Dwi pun menyerahkan uang Rp 500 juta. Namun, mereka kembali meminta uang Rp 1,5 miliar pada awal Januari 2025. Uang itu diserahkan secara tunai kepada Alex, yang disebut merupakan anggota polisi juga.
"Penyerahannya yang Rp 500 juta di kafe, kalau yang Rp 1,5 miliar diambil di rumah oleh saudara Alex," ujarnya.
Tak berhenti di situ, Dwi kembali diminta mentransfer uang Rp 650 juta kepada seseorang yang dikenalkan kepadanya oleh Alex dan Rokhim, yakni Joko. Namun, anaknya yang berinisial F (19) itu justru gagal usai mengikuti Tes Pemeriksaan Kesehatan (Rikkes).
"Setelah anak saya mengikuti seleksi rikkes pertama itu langsung gagal. Akhirnya saya klarifikasi sama beliau-beliau itu, mereka sanggup mengembalikan. Akan tetapi sampai sampai hari ini pun belum ada itikad untuk mengembalikan sehingga pada tanggal 9 Agustus saya melaporkan ke Polda," tuturnya.
Dalam laporan dengan Nomor: STTLP/166/VIII/2025/JATENG/SPKT, Dwi melaporkan empat orang yakni Fachrurokhim, Alexander Undi Karisma, Stephanus Agung Prabowo, dan Joko. Dwi menyebut Alex dan Rokhim berstatus anggota aktif Polres Pekalongan, sedangkan dua lainnya merupakan warga sipil yang mengaku memiliki hubungan dengan polisi.
"Kalau saudara Agung ini menurut keterangan dari Alex adiknya Pak Kapolri. Kalau Joko itu saya kurang paham untuk kegiatannya, pekerjaannya apa. Saya juga kenal sekali itu aja ketemu di Jawa Timur, di Kediri," ungkapnya.
Dwi mengaku mengalami tekanan psikologis dan kerugian besar akibat peristiwa ini. Untuk memenuhi permintaan uang, ia terpaksa menjual dua mobil milik keluarganya dan meminjam uang dari saudara.
"Karena waktunya kan mendesak itu, Rokhim kan datang jam 01.00 WIB malam. Saya disuruh menyediakan uang Rp 1,5 besoknya," tuturnya.
"Karena saya juga nggak ada uang ready, akhirnya saya pinjam sama Kakak. Kebetulan Kakak juga tidak ada uang cash, akhirnya jual mobil dua unit. Dapat Rp 1 miliar, Rubicon sama Mini Cooper," imbuhnya.
Hingga kini, kata Dwi, belum ada satupun dari empat terlapor yang ditahan, meski kasusnya sudah dilaporkan sejak beberapa bulan lalu.
"Sampai sekarang belum ada yang ditahan. Harapan saya, saya tetap menuntut keadilan supaya bisa di kembalikan," tegasnya.












































