Warga Kampung Pondok, Tambakrejo, Gayamsari, Kota Semarang, Kundarsih (50) mengatakan kampungnya sudah 10 hari ini kebanjiran hingga selutut. Selama itu, keluarganya yang terdiri dari empat orang hanya mendapat bantuan satu nasi bungkus yang tak datang setiap hari.
"Di rumah saya banjirnya selutut dari Rabu (21/10) minggu lalu belum surut, kemarin malah tambah besar," kata Kundarsih kepada detikJateng, Jumat (31/10/2025).
Selama banjir ini, dia cuma mendapat bantuan satu nasi bungkus yang tak setiap hari ia terima. Nasi itu dibagi untuk seluruh anggota keluarganya yang terdiri dari empat orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bantuannya nasi bungkus, satu keluarga satu bungkus. (Hanya satu porsi?) Iya satu porsi dibagi berempat, isinya nasi, kering tempe, mi, telur. Kadang dua hari sekali dapatnya," ungkap Kundarsih.
"Itu (nasi bungkus) dari partai sama dari kelurahan, selain itu belum ada bantuan lagi. Kemarin Pak Gubernur ninjau rumah pompa, katanya dua hari mau surut, tapi ini belum surut," sambungnya.
Kundarsih sendiri sudah dua minggu tak bisa bekerja karena terkendala banjir.
"Nggak bisa kerja, kalau bisa harus muter-muter cari jalan yang nggak banjir. Gas, air bersih, susah. Gas ini langka sampai Rp 25 ribu harganya dari awal banjir, karena katanya langka, pangkalan nggak dikirimi, yang menyuplai wegah (tidak mau) kena banjir," ujarnya.
Selama banjir ini pun ia harus menghemat. Kundarsih yang sedang berjalan kaki menuju Pasar Barito itu mengatakan harga sayur di kampungnya naik dua kali lipat, sehingga ia harus berjalan kali menerjang banjir sekitar 2 kilometer.
"Memasak harus hemat sehemat-hematnya, saya jalan kaki untuk belanja dua hari sekali. Harga di pasar normal, kalau di kampung naik dua kali lipat," kata dia.
"Jadi saya mending jauh ke pasar supaya nggak terlalu mahal. Saya langsung nyetok banyak karena kalau hujan lagi takutnya tambah tinggi," lanjutnya.
Ia pun menanti langkah konkret pemerintah dalam menanggulangi banjir agar cepat surut di Kaligawe. Ia mengaku lelah harus menerjang banjir setiap hari.
"Menurut saya pemerintah belum optimal, karena masih kayak nggak ditangani. Tahun ini memang paling parah. Untungnya dua anak saya sudah kerja di luar kota jadi aman, yang nggak bisa kerja saya dan bapaknya," tuturnya.
Sementara itu, salah seorang warga Gayamsari lainnya, Yati (67) mengaku harus menuntun sepedanya sejauh kurang lebih dua kilometer untuk mencari gas LPG.
"Saya rumahnya di ujung, ini mau beli gas katanya ada di SPBU, jadi saya ke sini," kata Yati kepada detikJateng.
Tapi perjuangannya itu sia-sia. Meski terlihat ada mobil pemasok gas LPG di SPBU Karangkimpul, ia tak bisa membelinya. Ia pun bercerita sambil menangis.
"Padahal sudah di depan mata, mau saya beli nggak boleh, katanya mau untuk warung-warung atau pangkalan, kan harganya beda," ujarnya sambil menitikkan air mata.
"Ya nanti saya cari, muter lagi ke tempat lain. Tapi nanti, kalau sudah nggak capek. Saya juga pakainya sepeda, nuntun karena banjir jadi berat, sambil bawa-bawa gas," sambungnya.
(dil/ahr)








































.webp)













 
             
             
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 