Sudah lebih dari sepekan genangan air belum juga surut di Kaligawe, Kota Semarang. Aktivitas warga pun terganggu hingga berdampak kepada mata pencaharian mereka.
Pantauan detikJateng di Kampung Tambakan, Kelurahan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Rabu (29/10/2025) sore, warga masih harus beraktivitas di tengah air setinggi lutut hingga perut orang dewasa.
Rumah-rumah tampak terendam banjir. Beberapa toko hingga pasar pun terpaksa tutup karena terkena banjir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, kegiatan ibadah ikut terganggu lantaran Gereja GPdI Kaligawe tak bisa digunakan karena air merendam halaman depan.
"Kalau masjidnya di sini sudah lebih tinggi masih bisa untuk ibadah, nggak kemasukan air. Tapi gereja itu sampai terendam, ndak bisa untuk ibadah," kata Rizal (22), warga setempat kepada detikJateng, Rabu (29/10/2025).
Rizal sendiri sudah delapan hari terjebak banjir. Ia yang bekerja di toko bangunan itu tak bisa masuk kerja.
"Gajinya kalau masuk kerja, ini nggak masuk kerja seminggu ya gajinya dipotong. Banjir gini susah banget buat aktivitas," ujarnya.
"Kalau sini surutnya tergantung yang lain udah surut belum, karena tempatnya dalam jadi air otomatis ke sini. Kalau pompanya kepakai semua pasti bisa surut," lanjutnya.
Di antara genangan itu, terlihat perahu darurat dari papan triplek mengangkut motor serta barang-barang rumah tangga. Para pekerja yang baru pulang sore ini pun menumpang ke perahu sederhana itu.
Suasana banjir di Kampung Tambakan, Kelurahan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Rabu (29/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng |
Salah satunya Slamet Riyadi (30), warga Kampung Tambakan. Ia mengaku setiap hari harus menaikkan motor warga di atas 'getek' tersebut.
"Ini sama bawa mekanik jahit, mau masang sekalian mengantar, kerjanya nganter-nganter. selama banjir ya selalu seperti ini. Sehari bisa 5 kali bolak-balik," ujarnya kepada detikJateng.
Ia mengatakan, sekali naik perahu biasanya membayar Rp 25 ribu untuk satu motor. Sambil mendorong motor yang di atasnya ditumpuk kardus itu, Slamet menyapa para warga yang terpaksa berjalan menerjang banjir di Kampung Tambakan.
Meski sudah terbiasa dengan banjir yang melanda tiap tahunnya, Slamet mengaku lelah juga. Terlebih, banjir membuatnya kesulitan mencari nafkah.
"Cari uang susah, ditambah banjir kayak gini. Udah tiap hari gatal-gatal, nggak bisa kerja. Rumah saya juga kemasukan air sampai sedengkul," ujarnya.
Slamet pun berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan kondisi kampungnya yang sudah terendam banjir sepekan terakhir itu.
"Solusinya dinaikkan jalannya. Jalan terakhir dinaikkan tahun 2010. Sekarang belum pernah ditinjau lagi. Kami cuma bisa nunggu surut kalau pompanya yang nyala," tambahnya.
Ketua RW 7 Kampung Tambakan, Edi (55), menyebut banjir kali ini sudah berlangsung lebih dari seminggu. Hampir seluruh wilayah Tambakan dan Margosari tergenang air.
"Hampir semua rumah kena. Ada yang masuk airnya sampai 1 meter. SDN Kaligawe juga libur sejak Rabu kemarin," kata Edi.
Warga kini bergantung pada perahu rakitan atau getek swadaya. Warga biasanya membayar seikhlasnya untuk naik perahu yang disediakan warga setempat itu.
"Motor-motor diparkir di depan kampung yang nggak banjir, kalau nggak ya ada yang dinaikkan ke getek. Kalau nekat lewat pasti mogok," tuturnya.
"Banjirnya tahun ini lebih parah. Biasanya (banjir baru) Desember, tapi ini Oktober sudah banjir. Katanya pompanya mati. Kalau nunggu surut sendiri ya lama, bisa berminggu-minggu," sambungnya.
Ia pun menilai solusi pompanisasi belum maksimal. Warga dinilai sudah lelah dengan kondisi banjir yang seakan tak ada solusi konkretnya itu.
"Capek, dari dulu ya begitu-begitu aja. Nggak ada antisipasi kalau banjir, warga ya pasrah aja, nerima," ucapnya pasrah.
Baca juga: Banjir Rendam 23 Kelurahan di Semarang |
(aku/afn)












































