Alunan Gamelan Iringi Pemberangkatan Jenazah Ki Anom Suroto ke Makam

Alunan Gamelan Iringi Pemberangkatan Jenazah Ki Anom Suroto ke Makam

Ajril Lu - detikJateng
Kamis, 23 Okt 2025 17:42 WIB
Jenazah dalang Ki Anom Suroto tiba di rumah duka di Makamhaji, Sukoharjo, Kamis (23/10/2025).
Jenazah dalang Ki Anom Suroto tiba di rumah duka di Makamhaji, Sukoharjo, Kamis (23/10/2025). Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng
Sukoharjo -

Suasana haru dan khidmat menyelimuti prosesi persemayaman jenazah maestro dalang Ki H. Anom Suroto di Ndalem Timasan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Suara gamelan lirih mengalun di antara isak tangis dan doa untuk Anom Suroto.

Menurut keterangan salah satu abdi sekaligus pengrawit senior yang turut mengiringi prosesi, Sarmadu Sabdo Utomo, iringan gamelan yang dimainkan merupakan pesan terakhir Ki Anom Suroto sebelum wafat. Pesan ini disampaikan Anom kepada putranya Bayu Aji.

"Malam sebelum meninggal, beliau masih sempat berpesan kepada Mas Bayu, putranya: 'Pras, kalau saya tidak ada, mohon disuluk Patet Lindur,'" tutur Sarmadi saat diwawancarai di rumah duka, Kamis (23/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suluk Patet Lindur dikenal sebagai suluk pergantian dari Patet Nem ke Patet Sanga, menggambarkan perjalanan manusia menuju akhir hayat.

ADVERTISEMENT

"Bapak kalau mayang itu selalu pakai patet ini. Teksnya menggambarkan orang akan kembali. Jadi ketika disulukkan, seolah-olah itu jadi tanda perpisahan," ujar Sarmadi.

Usai tembang Patet Lindur, prosesi dilanjutkan dengan tabuhan Gending Layu-Layu, karya dalang legendaris Ki Narto Sabdo. Gending tersebut lazim dimainkan dalam pagelaran wayang ketika seorang tokoh atau pahlawan gugur.

"Memang diperuntukkan untuk pahlawan yang gugur, kalau dalam wayang seperti itu, misalkan ada pahlawan gugur menggunakan iringan gendeng layu-layu itu," jelas Sarmadi.

Alunan gending itu menambah suasana haru di halaman rumah duka. Para pengrawit yang tergabung dalam kelompok Abdi Gajah Nem Suroto memainkan gending dengan penuh penghayatan. Beberapa di antaranya bahkan tak kuasa menahan air mata.

Ada sekitar 15 pengrawit terlibat dalam iringan gamelan tersebut. Mereka selama ini mendampingi almarhum dalam berbagai pentas wayang baik di dalam maupun luar negeri.

Menurut Sarmadi, seharusnya ada sekitar 25 orang yang tampil, namun sebagian berhalangan hadir karena jarak dan kondisi. Meski begitu, gending tetap berjalan lengkap dengan urutan repertoar yang telah disiapkan.

"Yang dibawakan itu gending dokitan, gending yang biasa dipakai untuk membentuk suasana duka. Tapi tidak semua kematian diiringi seperti ini. Hanya untuk orang-orang besar yang punya jiwa seni tinggi seperti beliau," ungkapnya.

Artikel ini ditulis oleh Ajril Lu'lu'a Zahroh peserta Program PRIMA Magang Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).




(ams/alg)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads