Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, merespons serapan realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lambat di 15 daerah. Menurutnya, banyak faktor yang membuat kepala daerah tidak menyerap anggaran dengan maksimal.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya menyampaikan hingga kuartal III-2025 masih ada dana mengendap di bank sebesar Rp 234 Triliun. Realisasi belanja APBD hingga September 2025 baru mencapai Rp 712,8 triliun atau setara 51,3% dari total pagu Rp 1.389 triliun.
"Ya, saya yakin ya kepala daerah itu tidak dengan sengaja sebetulnya, tetapi banyak faktor yang membuat uang itu tidak berputar," kata Bima Arya usai melakukan pertemuan dengan Wali Kota Solo, Selasa (21/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bima menegaskan bahwa pemerintah pusat baik Kemendagri dan kementerian keuangan terus mendorong anggaran belanja daerah maksimal. Sehingga, anggaran yang diberikan untuk daerah ini kegiatannya berjalan lambat.
"Jadi jangan sampai kemudian uang yang dialokasikan untuk kepala daerah ini tidak bergerak karena proses untuk kegiatannya lambat, bisa gagal lelang, gagal dalam perencanaan dan lain-lain begitu," ungkapnya.
"Nah, ini harus gerak, harus berputar semuanya, intinya itu. Jadi, baik Pak Mendagri maupun Pak Menteri Keuangan mendorong agar belanja daerah itu maksimal," sambungnya.
Ia mengakui bahwa saat ini belanja daerah tahun 2025 masih berada di bawah tahun lalu. Untuk itu, pihaknya juga masih bergerak untuk menelusuri lambatnya realisasi anggaran tersebut.
Karena angka menunjukkan bahwa belanja daerah tahun ini saat ini masih di bawah tahun lalu berkurang 3 persen atau 4 persen dibanding tahun lalu. Nah, ini kan harus bergerak, ditelusuri," ungkapnya.
Salah satunya, ia mengunjungi Solo untuk mengetahui kendala dalam realisasi tersebut. Pihaknya juga masih mencari tahu kendala-kendala di daerah lain.
"Makanya tadi saya tanya, kalau di Solo ada kendalanya apa, di setiap daerah kita tanya, kendalanya apa, nggak maksimal belanjanya. Ya, satu-satu ditelusuri. Kepala daerah, kepala Bappeda, kemudian BKAD, keuangan ini semua melihat ya. Mana nih, kenapa, ada yang hanya menunggu realisasi pencairan misalnya. Ada yang karena ketidaksesuaian antara perencanaan dan kegiatan fisik gitu," terangnya.
Dirinya juga memberikan target kepada 15 daerah tersebut agar capaian tahun ini harus sama dengan tahun lalu. Untuk ia menilai bahwa saat ini waktu untuk menyehatkan APBD.
"Target penyerapannya ya kita lihat setiap daerah tidak boleh lebih rendah dari tahun lalu. Minimal sama dengan tahun lalu. Jadi, ini saatnya untuk menyehatkan APBD daerah yang lebih bermanfaat kegiatan," bebernya.
Meski begitu, ia memberi warning ke daerah agar menyelesaikan serapan anggaran sesuai target. Salah satunya yakni tidak diberi dana insentif fiskal.
"Ya, pasti ada catatan-catatan nanti (warning). Ya, artinya kalau serapannya enggak maksimal, bagaimana mungkin akan diberikan dana insentif fiskal. Ya, bagaimana mungkin kemudian ada bantuan-bantuan pemerintah. Yang penting maksimal dulu serapannya," pungkasnya.
Dilansir detikFinance, Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan bahwa realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga kuartal III-2025 masih lambat. Padahal, pemerintah pusat telah menyalurkan anggaran ke daerah dengan cepat.
Purbaya menerangkan bahwa realisasi belanja yang lebih lambat ini membuat dana daerah menumpuk di perbankan. Ia menyebut setidaknya ada dana mengendap hingga Rp 234 triliun di bank.
"Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang Pemda yang nganggur di bank sampai Rp 234 triliun. Jadi jelas, ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi," ujar Purbaya dalam rapat pengendalian inflasi tahun 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (20/10).
Purbaya membeberkan, realisasi belanja APBD hingga September 2025 baru mencapai Rp 712,8 triliun atau setara 51,3% dari total pagu Rp 1.389 triliun. Angka ini lebih rendah 13,1% dibanding periode yang sama tahun lalu.
"Artinya, perputaran ekonomi daerah berjalan lebih lambat. Kalau kita rinci, belanja pegawai relatif stabil turun tipis 0,7%, tapi yang perlu perhatian serius adalah belanja modal hanya Rp 58,2 triliun atau turun lebih dari 31%. Padahal ini belanja yang langsung berdampak ke pembangunan dan lapangan kerja," jelas Purbaya.
Berikut 15 Pemda dengan simpanan tertinggi berdasarkan data Kementerian Keuangan:
1.Provinsi DKI Jakarta Rp 14,6 triliun
2.Provinsi Jawa Timur Rp 6,8 triliun
3.Kota Banjarbaru Rp 5,1 triliun
4.Provinsi Kalimantan Utara Rp 4,7 triliun
5.Provinsi Jawa Barat Rp 4,1 triliun
6.Kabupaten Bojonegoro Rp 3,6 triliun
7.Kabupaten Kutai Barat Rp 3,2 triliun
8.Provinsi Sumatera Utara Rp 3,1 triliun
9.Kabupaten Kepulauan Talaud Rp 2,6 triliun
10.Kabupaten Mimika Rp 2,4 triliun
11.Kabupaten Badung Rp 2,2 triliun
12.Kabupaten Tanah Bumbu Rp 2,11 triliun
13 Provinsi Bangka Belitung Rp 2,10 triliun
14.Provinsi Jawa Tengah Rp 1,9 triliun
15. Kabupaten Balangan Rp 1,8 triliun
(apl/alg)











































